Hasil Referendum, Mesir Memasuki Transisi Demokratis
SATUHARAPAN.COM – Dalam dua hari terakhir, Mesir berada pada saat-saat yang penting dalam menentukan masa depan negara itu. Sebanyak 53,4 juta rakyat Mesir menentukan suaranya terhadap rancangan konstitusi baru yang mencerminkan kehendak rakyat, setelah konstitusi 2012 dibekukan bersamaan dengan dicopotnya Mohammed Morsi dari kursi kepresidenan.
Morsi yang didukung kelompok Islamis Mesir, terutama dari Ikhwanul Muslimin hanya memerintah selama setahun, setelah demonstrasi besar-besaran menolak pemerintahannya. Alasannya, karena pemerintahan Morsi yang condong kepada kelompok Islamis mengabaikan realitas plural Mesir.
Morsi sendiri merupakan presiden yang dipilih secara demokratis, namun sayang pemerintahannya tidak mencerminkan proses dan semangat revolusi Mesir pada 2011 yang mengantarnya pada kursi kekuasaan.
Mesir termasuk negara yang dilanda gelombang Musim Semi Arab yang merupakan gelombang revolusi di Afrika Utara dan Timur Tengah untuk menggulingkan pemerintahan yang dinilai otoritarian dan Korup. Revolusi 2011 di Mesir telah menggulingkan pemerintahan Husni Mubarak, namun pemerintahan baru (Morsi) harus terguling juga oleh gelombang revolusin yang belum tuntas.
Koreksi Pemerintahan Morsi
Referendum konstitusi ini akan menjadi batu ujian penting bagi Mesir, apakah revolusi yang dimulai tiga tahun lalu mampu menjadi reformasi politik dan pemerintahan di negara itu. Rakyat Mesir sendiri telah merasakan tiga tahun belakangan ini telah banyak membayar revolusi dengan darah, kemerosotan ekonomi, dan bahkan ikatan kebangsaan.
Konstitusi baru memang disusun dengan perdebatan yang cukup intens tentang posisi Syariat Islam dalam konstitusi. Kelompok Islamis awalnya bersikeras untuk menempatkan Syariat Islam sebagai sumber utama undang-undang, dan penetapan syariat Islam dilakukan oleh semacam dewan syura. Namun kelompok nasionalis dan non Islamis menolak.
Konstitusi baru merupakan koreksi terhadap pemerintahan Morsi, dan tampaknya memberikan ruang yang mewadahi Mesir dalam keberagamannya. Hal itu merupakan hasil dari komite beranggota 50 orang yang merepresentasi entitas dan kelompok-kelompok di Mesir. Hasil komite ini yang sekarang diajukan untuk rakyat memberikan pendapatnya melalui referendum.
Namun sayangnya, proses penyusunan konstitusi baru dan referendum tidak bisa utuh, karena pendukung Morsi dan Ikhwanul Muslimin memilih tidak bergabung, bahkan memboikot referendum. Bagaimanapun Ikhwanul Muslimin merupakan bagian dari Mesir yang tidak bisa diabaikan dalam proses politik dan penyelenggaraan pemerintahan negara itu.
Upaya dialog tampaknya tidak disambut baik oleh kelompok Islamis ini, bahkan sayangnya kemudian yang dilancarkan adalah aksi protes dan terjadinya kekerasan. Bahkan pemerintah sementara menetapkan Ikhwanul Muslimin sebagai kelompok teroris, dan disusul dengan penangkapan pimpinan organisasi ini.
Transisi Demopkratis
Relasi antara Ikhwanul Muslimin dan entitas lain memang akan menjadi ganjalan bagi perjalanan negara dan pemerintahan Mesir, namun dalam dua hari ini rekayat Mesir mengambil pilihannya. Dan hal ini berarti bahwa Ikhwanul Muislimin dan pendukung Morsi tidak bisa terus-menerus memaksakan pandangannya, dan mengabaikan kepentingan bersama mesir yang tercermin dalam referendum ini.
Sejauh ini data-data yang dikemukakan oleh media-media di Mesir menunjukkan hasil yang hamper mutlak untuk mengatakan “ya” pada konstitusi baru. Meskipun data yang ada adalah penghitungan suara yang belum resmi, jumlah warga Mesir yang memberikan suara telah mencapai lebih dari 52 juta dari 53,4 juta yang punya hak pilih.
Data yang dirilis media pemerintah Mesir, ahram.org.eg hingga hari Kamis (16/1), menunjukkan bahwa berbagai lembaga yang menghitung menceriminkan hansil bahwa sedikitnya 95 persen suara menyebutkan “ya” dan selebihnya antara “tidak” dan absatain. Suara “ya” yang sangat besar ini mungkin akan menjadi langkah penting bagi Mesir mengatasi masalah-masalahnya dengan transisi yang lebih demokratis.
Hasil sementara ini mencerminkan Mesir segera akan menyelenggarakan pemilihan presiden dan parlemen yang akan segera mendapatkan mandat menjalankan pemerintahan menggantikan pemerintahan sementara sejak Juli tahun lalu.
Namun demikian, hasil resmi masih ditunggu, dan semoga Mesir menjalani perubahan ini dengan damai, tanpa pertumpahan darah. Jika ini bisa dilalui, Mesir menjadi contoh bahwa musim semi Arab yang selama ini menunjukkan hasil timbulnya kegoncangan nasional dan regional dengan konflik dan kekerasan, bisa diubah. Mesir bisa menunjukkan musim semi Arab membawa angin segar bagi demokrasi dan pemerintahan yang akuntabel.
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...