Hidup sebagai Milik Allah
Jika kita hidup bersama dengan Allah di muka bumi sini, maka kelak kita pun akan hidup bersama dengan Dia di surga sana.
SATUHARAPAN.COM – Dalam pembukaan katekismus Heidelberg, tersurat demikian: ”Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati? Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milikku, melainkan milik Yesus Kristus, Juru Selamatku yang setia.”
Kita adalah milik Tuhan. Saudara dan saya adalah milik Tuhan. Tubuh dan jiwa kita bukan milik diri kita sendiri, tetapi milik Tuhan. Kenyataan ini semestinya membuat kita hidup sungguh-sungguh sebagai milik Tuhan.
Itu memang bukan persoalan gampang. Di hadapan Allah Daud berkata, ”Bila Engkau menguji hatiku, memeriksanya pada waktu malam, dan menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui sesuatu kejahatan; mulutku tidak terlanjur.” (Mzm. 17:3).
Namun, meski Daud telah berupaya melalukan kehendak Allah, hidupnya tidak steril dari penderitaan. Daud sungguh paham artinya menjadi pelarian. Kesulitan hidup tidak membuat Daud menyangkal keberadaan Allah. Dia tetap memercayai Allah. Itulah sebabnya Daud berseru kepada Allah.
Demikian juga dengan Ayub. Dalam keadaan yang paling nadir dalam pandangan manusia, Ayub mengakui: ”Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu” (Ayb. 19:25).
Sejatinya inilah yang tidak dipahami dan dijalani orang Saduki (Luk. 20:27-38). Orang Saduki tidak ingin hidup untuk Allah, namun di luar aturan Allah. Dan ketidakinginan hidup bagi Allah—seturut dengan kehendak Allah—di dunialah yang membuat mereka akhirnya mengembangkan ajaran bahwa orang mati tidak akan bangkit lagi.
Menurut Yesus, orang Saduki berpikir menurut pikiran manusia. Mereka agaknya lupa bahwa manusia sesungguhnya hanyalah ciptaan. Dan memang tak gampang bagi ciptaan untuk sungguh-sungguh memahami Allah.
Paulus, kepada warga jemaat di Tesalonika, menasihatkan untuk tidak terlalu memusingkan tentang surga (2Tes. 2:1-3). Orang percaya tak perlu mempersoalkan dengan jelimet bagaimana keadaan surga selama hidup baik di dunia. Jika kita hidup bersama dengan Allah di muka bumi sini, maka kelak kita pun akan hidup bersama dengan Dia di surga sana.
Karena itu, Paulus mendorong warga jemaat untuk sungguh-sungguh hidup sebagai milik Allah. Sebab surga dan bumi memang cuma perkara tempat.
Editor : Yoel M Indrasmoro
RI Take Down 180.954 Konten Radikalisme di Media Sosial
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama dengan Kement...