Hidup Seturut Apa Kata Orang
SATUHARAPAN.COM – Beberapa waktu lalu saya mendengar keluhan seorang manajer tentang anak buahnya. Keluhannya seputar kedisiplinan karyawan tersebut: sering tidak masuk kerja tanpa alasan. Beberapa teguran lisan, hingga sanksi administratif berupa Surat Peringatan, belum berhasil mengubah perilaku karyawan tersebut.
Beberapa hari kemudian saya bertemu dengan karyawan yang dimaksud. Dalam percakapan kami, dia malah curhat mengenai kesulitan mengatur waktu masuk kerja pagi hari karena harus menyelesaikan usaha dagangnya terlebih dahulu. Yang membuat saya kagum, ternyata penghasilannya 4-5 kali lipat dari yang dia terima sebagai karyawan pabrik. Ketika saya bertanya mengapa dia tidak fokus kepada usahanya itu, dia mengaku malu kalau dicap sebagai pengangguran karena hanya berjualan di pasar.
Pengakuan itu membuat saya mengernyitkan dahi dan mencoba memahami perasaannya. Tak mudah menyalahkannya karena budaya setempat menganggap bahwa tidak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau karyawan swasta sama halnya dengan pengangguran.
Kebutuhan akan pengakuan orang lain (apa kata orang) tentu melekat dalam diri insan. Abraham Maslow menempatkannya di atas kebutuhan primer. Itu tidak sepenuhnya salah. Menjadi masalah, jika orang malah menjadikannya sebagai tujuan utama hidupnya. Sejatinya, bersedia untuk give the best dalam setiap pekerjaan jauh lebih penting ketimbang sekadar hidup seturut apa kata orang.
Setelah bertukar pikiran lebih jauh, akhirnya karyawan tersebut mengambil keputusan bulat untuk mengundurkan diri sebagai karyawan pabrik dan fokus kepada usahanya. Agaknya, dengan keputusan itu dia akan merasa lebih lega dan bisa lebih banyak berguna bagi orang lain. Setidaknya, dia akan menjadi dirinya sendiri, dan jalan hidupnya tidak ditentukan oleh apa kata orang.
Semoga!
editor: ymindrasmoro
email: inspirasi@satuharapan.com
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...