Holocaust Adalah Kebencian Ras dan Keyakinan
SATUHARAPAN.COM – Hari Senin (27/1) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memperingati peristiwa genosida paling mengerikan pada abad ke-20 di kamp konsentrasi Nazi Jerman di Auschwitz – Birkenau, Polandia. Peringatan itu bukan sekadar mengingat masa lalu, tetapi justru karena pada abad ke-21 ini ancaman genosida tidak juga padam.
Tanggal itu menandai pembebasan oleh Tentara Merah Rusia terhadap sisa tahanan yang masih bertahan hidup pada tahun 1945. Diperkirakan 1,5 juta orang meninggal di dalam kamp konsentrasi yang menggunakan gas beracun di sana, dan sekitar enam juta Yahudi terbunuh oleh kebencian yang ditebarkan oleh Nazi.
Kamp itu sendiri dioperasikan sejak tahun 1941 untuk mengumpulkan orang yang sebagian besar orang Yahudi untuk menuju kematian mereka yang mengerikan. Dan kamp ini melambangkan kekuatan kebencian etnis dan agama sebagai alat pembunuh yang mengerikan.
Sering Disangkal
Kasus genosida yang terjadi, bahkan pada kasus-kasus lain hingga sekarang dengan berbagai perbedaan skalanya, sering disangkal. Pembantaian di Auschwitz juga awalnya mengalami hal serupa. Informasi tentang Auschwitz sampai di tangan Tentara Sekutu sebenarnya telah disampaikan terus-menerus pada kurun 1941-1944, termasuk oleh laporan-laporan dari Witold Pilecki dan Jerzy Tabeau. Namun informasi tentang pembunuhan massal di sana umumnya dianggap sebagai berlebih-lebihan.
Hal serupa juga terjadi di banyak tempat dewasa ini, seperti di Kamboja, di Rwanda, dan mungkin di Suriah. Di Sudan Selatan dan di Republik Afrika Tengah pembunuhan yang dibakar oleh kebencian karena perbedaan agama, keyakinan dan etnis tengah terjadi. Hal itu telah diperingatkan sebagai berpotensi besar menjadi genosida, tetapi respons tetap lambat.
Apakah genosida masih bisa terjadi? Komisioner PBB untuk Hak Asasi Manusia, Navi Pillay, menyebutkan bahwa kebencian atas dasar ras dan keyakinan adalah penyebab terjadinya kasus Holocaust. Dalam hal ini oleh Nazi Jerman terhadap Yahudi. Namun dia sebagai warga Afrika Selatan pada masa apartheid juga merasakan sebagai seorang korban.
Holocaust adalah pengingat bahwa pembantaian dibakar oleh diskriminasi dan intoleransi, ditanamkan melalui hasutan untuk kebencian rasial dan keyakinan lain. Permisif terhadap kejadian diskriminasi pada individu akan tumbuh menjadi aksi masyarakat yang mengerikan.
Akar Kebencian
Figur pemimpin Nazi di balik operasi kamp konsentrasi itu adalah komandan Schutzstaffel (SS) Heinrich Himmler. Surat-surat, catatan dan foto dokumen Himmler yang diungkapkan oleh sebuah harian di Jerman, Die Welt, baru-baru ini menunjukkan bagaimana kebencian Himmler pada Yahudi adalah sumber dari “kekuatan kekejaman” itu.
Kebencian atas dasar ras dan keyakinan yang ditunjukkan oleh Himmler merupakan horor bagi dunia. Hal itu juga menyebar pada istrinya, Margaritte. Dalam dokumen itu disebutkan istrinya mengagumi dia sebagai orang yang jahat dengan hati yang teguh dan kasar.
"Saya sangat beruntung memiliki seorang pria yang baik dan juga jahat, dia yang mengasihi isterinya yang jahat sebanyak dia mencintainya," tulis Margaritte dalam dokumen itu. Sebuah pernyataan yang tak masuk di akal.
Kasus Holocaust Nazi memang terjadi dalam skala yang mengerikan. Namun demikian, genosida masih merupakan ancaman serius, terutama jika ditemukan adanya bibit-bibit kebencian, harustan kebencian dan perilaku yang cenderung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Hal itu masih ada setelah 69 tahun kamp Auschwitz dibebaskan, dan kita masih menyaksikan ada kebanggan ketika orang melakukan kekerasan pada pihak lain.
Laporan-laporan hak asasi manusia oleh berbagai lembaga masih menyebutkan adanya pelanggaran hak asasi manusia di berbagai negara. Diskriminasi atas dasar keyakinan, suku dan etnis masih terjadi di berbagai dunia. Bahkan tahun 2012 dan 2013 lalu kekerasan atas dasar perbedaan keyakinan atau agama mengalami peningkatan yang besar. Konflik sektarian masih terjadi di banyak tempat, bahkan hal itu bukan hanya terwujud melalui diskriminasi, melainkan sudah sampai tindakan pembunuhan dan serangan yang masif.
Kita di Indonesia, berada ribuan kilometer dari Auschwitz, namun masalah kebencian karena ras, etnis dan keyakinan bergerak cepat melampaui batas-batas geografis. Dan kita tidak bisa mengatakan kita tidak terpengaruh, kecuali kita menunjukkan relasi yang saling menghargai di antara individu dan kelompok secara genuine, dan membungkam mulut dari menghasut kebencian.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...