HRW: Ekstremis Terapkan Hukum Syariah Sepihak di Mali
BAMAKO, SATUHARAPAN.COM – Sebuah organisasi hak asasi manusia memperingatkan ekstremis Islam telah memberlakukan Syariah atau hukum Islam di beberapa desa di Mali, salah satu larangannya yakni mengancam penduduk sejumlah desa untuk tidak merayakan pernikahan atau pembaptisan di gereja.
Dalam laporan yang diterbitkan pada pekan lalu dan ditampilkan di Christian Times, hari Senin (23/1), Human Rights Watch (HRW) menyatakan bahwa beberapa kelompok teroris Islam, seperti Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM), Ansar Dine, Front Pembebasan Macina dan Gerakan untuk Persatuan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) merupakan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tengah dan utara Mali.
“Kekhawatiran tentang hak asasi manusia tumbuh semakin genting selama tahun lalu, akibat dari banyaknya eksekusi pembunuhan dan intimidasi oleh kelompok bersenjata Islamis, bentrokan antar komunal berdarah, dan kejahatan yang diwarnai kekerasan semakin meningkat,” kata asosiasi direktur HRW wilayah Afrika, Corinne Dufka yang mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Organisasi tersebut menyatakan pemerintah Mali tidak mampu melindungi warga sipil di wilayah tersebut dari para pemberontak, yang telah semakin memberlakukan pembatasan kehidupan desa dan semakin sering melakukan penyiksaan terhadap penduduk negara tersebut.
“Kegagalan pemerintah (Mali) untuk meredakan dan mengurangi pelanggaran telah membuat situasi semakin memburuk,” kata Dufka.
HRW telah mewawancarai lebih dari 70 korban pelanggaran dan kekerasan di Mali, mereka terbagi dalam empat kelompok yang berbeda antara lain pejabat pemerintah daerah, aparat keamanan, kepala desa dan para pejuang dari pihak ke perjanjian damai.
Kelompok ini menyatakan bahwa sedikitnya 27 orang dieksekusi oleh kelompok-kelompok Islam tahun 2016.
Banyak penduduk desa yang menceritakan saat mengalami penyiksaan biasanya kelompok Islam berjumlah hingga 50 orang bersenjata, termasuk anak-anak remaja, menduduki desa mereka selama berjam-jam dan mengancam akan membunuh siapa pun berkolaborasi dengan pasukan Prancis, yang menurut laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memang ditugaskan PBB untuk mengamankan negara tersebut.
“Acara tradisional adat kami tidak lagi diperbolehkan karena kehadiran pejuang jihad di desa kita sendiri. Kami diharamkan melakukan perayaan tradisional,” kata salah satu warga yang tidak disebutkan namanya yang menggambarkan saat dia menghadiri pernikahan kerabatnya di Segou, Mali pada bulan Desember 2016.
Warga lain mengatakan ada keluarga yang dipaksa untuk menyerahkan anak-anak mereka ke kelompok-kelompok ekstremis bersenjata tersebut.
HRW mencatat sebanyak 400 peristiwa yang berkaitan dengan terorisme dan ekstremise di daerah tersebut sepanjang tahun 2016.
Setidaknya delapan orang tewas dan lebih dari 30 terluka oleh ekstremis bersenjata tersebut, yang secara rutin menargetkan penggembala ternak, pedagang dan pengguna kendaraan umum.
Korban mengatakan bahwa kejahatan yang dilakukan terhadap mereka yang jarang diselidiki oleh pemerintah.
“Pihak berwenang perlu melakukan lebih banyak untuk memenuhi tanggung jawab mereka untuk melindungi warga sipil di bagian utara dan tengah Mali," kata Dufka.
Dia mengatakan setelah bertahun-tahun warga Mali merasa tidak aman ada saatnya warga sipil berhak untuk melihat keamanan yang mengarah ke proses perdamaian. (christiantimes.com)
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...