HRW: Obama Bisa Ungkap Peran AS dalam Pembantaian 1965
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Direktur Eksekutif Human Right Watch, Kenneth Roth, mengatakan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, dapat mengungkap sejauh mana peran CIA dalam pembantaian 1965 apabila pemerintah Indonesia memintanya.
Menurut Roth, sampai hari ini masih ada catatan pemerintah AS tentang apa yang terjadi pada tahun 1965, dan hal itu belum dirilis. Jika pemerintah RI meminta untuk membukanya, diyakini Presiden Obama akan menyetujuinya, seperti yang telah dilakukan oleh AS terhadap berbagai kasus di negara-negara Amerika Latin.
"Kita ingin belajar lebih banyak tentang tingkat keterlibatan pemerintah AS dengan para pembunuh di tahun 1965. Siapa yang tahu apa, dan apa jalur komunikasi yang menjembatani?," kata Roth, pekan lalu, dalam sebuah jumpa pers menjelang Simposium Nasional bertema 'Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan," yang diselenggarakan pemerintah hari ini (18/4) di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
"Siapa nama-nama yang disampaikan oleh pemerintah AS, dan jika demikian, apa yang terjadi dengan orang-orang itu? Ini semacam rincian operasi, termasuk pesan-pesan CIA, itu akan sangat berguna untuk mengetahui sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menceritakan kisah 1965," kata Roth.
"Itu bukan dimaksudkan pengganti proses yang berjalan di Indonesia; itu salah satu bagian dari upaya menceritakan kebenaran yang lebih besar. Tapi kami berpikir AS bisa berkontribusi pada proses yang lebih besar dengan melepaskan semua dokumen yang relevan kepada publik," lanjut Roth.
Menurut Roth, hal ini sudah dilakukan oleh AS dalam berbagai kasus lain, yang sejauh ini semuanya terjadi di Amerika Latin. Ia mengatakan, di bawah Presiden Barack Obama, pemerintah AS telah membuka arsip yang menjelaskan peran AS dalam apa yang disebut "perang kotor" di Brasil dan Argentina. Sedangkan presiden sebelum Obama membuka arsip yang relevan dengan Cile, El Salvador, dan Guatemala.
"Ini adalah kontribusi yang sangat berguna untuk proses pengungkapan kebenaran di berbagai negara," kata dia.
Menurut Roth, memang ada kemungkinan resistensi birokrasi di bagian-bagian tertentu dari pemerintah AS, khususnya badan intelijen AS, CIA. Oleh karena itu, AS melakukan hal ini ketika negara yang bersangkutan secara resmi meminta dokumen dan melakukan proses pengungkapan kebenaran yang bermakna.
"Sekarang dalam kasus Indonesia, Komnas HAM telah membuat permintaan resmi kepada pemerintahan Obama untuk untuk mendapatkan dokumen, dan itu sangat penting. Dalam pertemuan kami dengan para pejabat Indonesia, kami telah mendesak pemerintah Indonesia sendiri untuk menambahkan suaranya meminta pemerintah AS membuka arsipnya," kata Roth.
Pada saat yang sama, Roth berharap simposium yang dilangsungkan di Jakarta hari ini dapat meluncurkan sebuah proses yang memungkinkan pemerintah AS untuk melihat bahwa proses kebenaran sedang berlangsung di Indonesia, dan bahwa rilis arsip AS akan memberikan kontribusi untuk proses tersebut.
"Jika itu terjadi, jika ada permintaan pemerintah Indonesia yang jelas bagi AS untuk sepenuhnya membuka arsip, dan jika permintaan itu adalah kelanjutan dari proses pengungkapan kebenaran bermakna di Indonesia, kami yakin bahwa Presiden Obama akan melakukan hal yang benar dan membuka arsip, seperti yang telah dilakukan dalam kasus lain. Kami menyadari bahwa ada resistensi di Indonesia dari tentara, organisasi Islam Nahdlatul Ulama, dan lain-lain."
"Beberapa pihak tidak ingin proses pengungkapan kebenaran ini maju. Di sinilah masyarakat sipil memiliki peran untuk bermain. Semakin pers terus memberitakan proses pengungkapan kebenaran, akan lebih banyak masyarakat yang bergabung, dan semakin banyak dukungan yang didapatkan oleh Presiden Jokowi untuk mengatasi resistensi ini, dan bergerak maju baik dalam mengatakan kebenaran di Indonesia dan dalam meminta bantuan AS dan pemerintah lainnya untuk membuka arsip mereka untuk berkontribusi kepada catatan sejarah," kata dia. (kav)
Editor : Eben E. Siadari
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...