HRW: Pemerintah Kamboja Menyiksa Pemakai Narkoba
PHNOM PENH, SATUHARAPAN.COM – Peristiwa itu terjadi lebih dari satu tahun yang lalu di sebuah taman di Phnom Penh. Polisi memaksa Smonh, seorang pemuda yang mencari nafkah dengan menjual sampah, masuk ke bagian belakang sebuah truk besar. Mereka tidak memberitahu mengapa dia ditahan, kata Smonh. Di dalam truk itu, ia tidak sendirian. Ia bersama dengan lusinan orang yang terdiri dari pekerja seks, anak jalanan dan pengemis. Hal itu terjadi dua minggu sebelum Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berencana mengunjungi Kamboja. Smonh bersaksi di depan Human Right Watch (HRW)—organisasi non-pemerintah, Kamis (12/12).
Hampir semua orang di dalam truk dibawa ke pinggiran ibukota Orgkas Khnom (“My Chance”), yang terlihat bukan seperti penjara, tetapi seharusnya tempat bagi orang-orang yang memiliki ketergantungan terhadap obat-obatan untuk mendapatkan pengobatan dan rehabilitasi. Tidak peduli dengan adanya fakta bahwa Smonh dan beberapa orang lain di dalam truk tidak menggunakan obat-obatan. Ia dulu memang pernah menggunakan “ya ma” atau shabu saat remaja dan ia telah berhenti menggunakannya empat tahun yang lalu dengan keinginan sendiri.
Kemudian, pihak berwenangn mengurungnya. Selama beberapa bulan berikutnya, ia akan dipukuli dan disiksa sampai ia tidak merasa lagi dianggap sebagai manusia. Hal tersebut ia ungkapkan setelah ia dibebaskan dari pusat dengan tuduhan bahwa ia menggunakan narkoba lagi.
Pemerintah Kamboja secara tidak sah menahan ratusan pengguna narkoba dan beberapa orang yang dianggap tidak “diinginkan” berada di pusat rehabilitasi di mana mereka menghadapi penyiksaan, kekerasan seksual dan kerja paksa menurut laporan Human Right Watch (HRW) yang baru, “Mereka Perlakukan Kami Seperti Hewan.”
Dalam laporan tersebut, orang-orang yang berada di pusat rehabilitasi digambarkan sedang meronta-ronta dengan selang air karet dan dipukul dengan tongkat atau ranting. Mereka mengatakan kepada HRW bahwa mereka dipaksa untuk merangkak di sepanjang tanah berbatu atau berdiri di dalam lubang air septik.
Mantan tahanan perempuan mengatakan bahwa mereka diperkosa dan mengalami pelecehan seksual oleh penjaga pria. Banyak tahanan mengatakan bahwa mereka dipaksa bekerja tanpa dibayar oleh pusat rehabilitasi tersebut – dan dalam beberapa kasus, di lokasi konstruksi – untuk mereka yang menolak dipukuli. Sepuluh persen dari orang-orang yang berada di tempat ini berusia 18 tahun.
Meskipun HRW telah mendokumentasikan pelanggaran serupa di Vietnam, Laos dan China, kebrutalanyang diderita para tahanan di pusat rehabilitasi obat di Kamboja oleh staf atau dengan tahanan lain yang bertugas untuk bertindak sebagai penjaga, sangat mengerikan.
Seharusnya tidak perlu ada hal yang terjadi seperti itu, pusat rehabilitasi ini dimaksudkan untuk membantu mereka yang tergantung pada obat-obatan.
Sebaliknya, pemerintah Kamboja menggunakan pusat rehabilitasi layaknya tempat pembuangan sampah. Tidak hanya untuk pengguna narkoba dan mereka yang dicurigai menggunakan narkoba, tetapi juga untuk orang-orang yang tidak diinginkan, seperti Smonh yang sering dikunjungi oleh pejabat tinggi dari asing.
Pada awalnya, suara Smonh lembut, ia agak khawatir saat ia menceritakan kisahnya. Malam itu, ia duduk di sebuah taman di Phnom Penh agar tidak terlihat. Smonh (20), mengenakan celana pendek dan kaos, layaknya pengguna narkoba, ia terlihat kurus. Ia memegang kantong plastik di sampingnya dan memegang botol plastik dan kaleng yang kemudian akan ia jual ke pedagang. Lampu-lampu mewah dari hotel bintang lima yang disukai wisatawan bersinar di dekatnya.
Dia tidak pernah melihat seorang pengacara atau hakim setelah ia ditangkap dan tidak memiliki kesempatan untuk menggugat penahanannya. Setelah Smonh tiba di pusat rehabilitasi, ia selalu dicambuk. Cambuk tersebut menjadi sangat menyakitkan ketika ia dan beberapa tahanan yang lain berusaha mencoba untuk kabur. Mereka menerobos atap genteng dari tempat tidur mereka, saat berada di atas gedung, mereka melompat ke tanah sebelum berlari melintasi halaman dan mencoba untuk memanjat dinding. Smonh tidak berhasil melarikan diri, ia dikejutkan oleh petugas dengan tongkat listrik.
Tahanan yang bertindak sebagai penjaga kemudian memukuli, menendang dan menyetrumnya dengan listrik sampai ia kehilangan kesadaran.
Tetapi itu hanya permulaan.
Ketika Smonh datang, ia diikat dan dirantai di sebuah ruangan dengan beberapa tahanan lainnya. Hanya satu orang yang berhasil keluar.
Malam itu, hampir 24 jam setelah berusaha melarikan diri, ia mulai meronta-ronta, kemarahannya mulai meningkat. Mereka memaksa dia untuk melakukan latihan secara fisik yang sangat melelahkan dan terkadang memukuli mereka. Mereka mencambuknya seperti binatang, mencabuti bulu hingga merobek kulitnya. Smonh terlihat marah ketika berbicara. Peristiwa itu terjadi selama berjam-jam dan mereka memohon untuk berhenti.
Lalu ia berhenti dan mulai tersedak. Puncaknya, ia mencoba untuk bunuh diri dengan menelan lidahnya sendiri.
Dalam empat atau lima hari setelah pemukulannya, ia mulai batuk darah karena luka dalam.
Setelah beberapa bulan berada di pusat rehabilitasi, ia kemudian dibebaskan. Sejak saat itu, hidupnya hancur. Meskipun Smonh telah berhenti menggunakan narkoba beberapa tahun sebelum dirawat di pusat, ia langsung menghirup lem setelah ia dibebaskan. Sekarang, ia berjalan demi satu kaleng lem per hari, jika ia mampu mencapainya, ia akan menghisap ya ma.
Wajah dan suaranya tampak lelah dan frustasi.
“Mereka menganggap pengguna narkoba itu sebagai hewan,” katanya. “Jika mereka pikir kami adalah manusia, mereka tidak akan memukul kami seperti ini.” (hrw.org)
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...