HRW: RI Harus Akhiri Pembatasan Media di Papua
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia seharusnya memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2015 kemarin dengan mengakhiri pembatasan media di Papua, kata Human Rights Watch pada Jumat (1/5).
Pembatasan resmi terhadap akses dan kontrol media asing maupun wartawan Indonesia ke Papua diumumkan setelah lolosnya pasukan keamanan Indonesia dari hukuman, setelah melakukan pelanggaran berat dan memicu kebencian di antara orang Papua.
Pemerintah Indonesia secara efektif melarang media asing dari peliputan di Papua dengan hanya memungkinkan akses wartawan asing yang mendapatkan izin resmi khusus untuk mengunjungi pulau tersebut.
Menurut HRW, pemerintah jarang menyetujui perizinan peliputan tersebut atau menunda untuk memprosesnya dan menghambat upaya wartawan dan kelompok swadaya masyarakat untuk melaporkan pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah tersebut. Pengawal resmi selalu mengawasi wartawan yang mendapatkan izin resmi, mengontrol dengan ketat gerakan mereka dan akses ke orang yang mereka ingin wawancara.
"International Press Freedom Day merupakan kesempatan emas bagi pemerintah Indonesia untuk akhirnya mengakhiri cekikan resminya terhadap akses media asing ke Papua," kata Phelim Kine, wakil direktur Asia.
"Pembatasan luas pada pelaporan dari Papua mendorong pelanggaran pasukan keamanan dan melemahkan hak publik lebih dalam lagi untuk mengetahui apa yang terjadi di sana."
Sejalan dengan kebijakan membatasi, pihak berwenang Indonesia pada Agustus 2014 menahan Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, dua wartawan Prancis yang memproduksi film dokumenter, dan mengancam mereka dengan tuduhan "subversi" karena diduga mengambil gambar anggota Organisasi Papua Merdeka separatis (OPM) .
Pada tanggal 6 Oktober, sebuah pengadilan di kota Papua Jayapura menghukum mereka atas "penyalahgunaan visa masuk,". Hakim kemudian menjatuhkan vonis kepada mereka namun wartawan Prancis tersebut dilepaskan pada hari yang sama.
Meskipun pemerintah mengizinkan media dalam negeri Indonesia melaporkan dari Papua, ada pertanyaan serius tentang keandalan dan objektivitas dari laporan mereka dalam menghadapi upaya pemerintah mengontrol arus informasi dari pulau itu. Sebuah dokumen resmi bocor pada tahun 2011 menunjukkan bahwa militer Indonesia mempekerjakan sekitar dua lusin wartawan Indonesia asal Papua sebagai informan. Militer juga telah membiayai dan melatih wartawan dan blogger kemudian memperingatkan mereka tentang dugaan campur tangan asing di Papua, termasuk oleh pemerintah AS dan lainnya.
Pemerintah membenarkan pembatasan pada akses media sebagai pencegahan keamanan yang diperlukan akibat konflik yang sedang berlangsung dengan sebuah organisasi yang kecil di Papua yaitu OPM . Ketegangan meningkat di Papua pada Februari 2013 menyusul dugaan serangan OPM terhadap pasukan militer Indonesia yang menewaskan delapan tentara. Ini merupakan tindakan terburuk kekerasan terhadap militer di daerah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Pemerintah juga secara konsisten menangkap dan memenjarakan demonstran Papua yang mendukung secara damai kemerdekaan atau perubahan politik lainnya.
Presiden Joko Widodo berjanji pada Juni 2014 bahwa ia akan menghilangkan hambatan bagi wartawan asing dan organisasi-organisasi internasional untuk mengunjungi Papua. Selama kunjungan kampanye pemilihan di Papua, Jokowi kepada wartawan menyatakan bahwa pemerintah "tidak ada upaya untuk menyembunyikan apapun" di Papua. Namun, dia belum menyebutkan isu kebebasan media di Papua sejak itu dan kebijakan membatasi akses media.
"Presiden Jokowi harus memenuhi janjinya untuk mengakhiri pembatasan akses media untuk Papua dan memungkinkan kedua media asing dan domestik untuk beroperasi di sana tanpa gangguan," kata Kine. "Tidak ada yang akan percaya pemerintah tidak memiliki 'sesuatu untuk disembunyikan' di Papua sampai media yang bebas dapat melaporkan apa yang terjadi dari sana." (hrw.org)
Editor : Eben Ezer Siadari
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...