HRW: Wartawan Indonesia Dalam Ancaman
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menjelang peringatan Hari Pers Dunia di Jakarta, 3 Mei, Human Rights Watch (HRW) menyerukan agar Pemerintah Indonesia mengambil sejumlah kebijakan guna memastikan agar aparat keamanan, yang melakukan kekerasan terhadap wartawan, diberhentikan dan dihukum secara pantas.
Dalam siaran persnya hari ini, HRW mengatakan data dan studi kasus terbaru menunjukkan ada peningkatan kasus intimidasi dan kekerasan terhadap wartawan yang meresahkan dalam dua tahun terakhir.
HRW berharap Irina Bokova, Direktur Jenderal Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO), yang menunjuk Jakarta menjadi tuan rumah ajang tahunan Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2017, harus menggunakan kesempatan tersebut untuk mengangkat persoalan meningkatnya kasus kekerasan ini di depan publik, sekaligus mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meresponnya dengan tindakan lebih tegas.
“Hari Kebebasan Pers Sedunia harus menjadi momen untuk merayakan peran para wartawan dalam masyarakat, namun di Indonesia fokusnya seringkali pada ketakutan para wartawan,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia di Human Rights Watch dalam siaran pers yang diberi judul: Indonesia: Wartawan Dalam Ancaman.
“Pemerintah Indonesia harus menanggulangi penurunan kebebasan pers yang berbahaya di Indonesia serta menghukum aparat keamanan yang melakukan kekerasan terhadap wartawan.”
Aliansi Jurnalis Independen, sebuah perkumpulan non-pemerintah, melaporkan pada 2016 ada 78 insiden kekerasan terhadap wartawan, termasuk yang dilakukan aparat keamanan. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada 2015 (42 insiden) dan 2014 (40 insiden). AJI menemukan bahwa dari 78 kasus, hanya segelitir saja yang diseret ke pengadilan.
Undang-undang Pers Tahun 1999 secara eksplisit menyebutkan perlindungan pada wartawan, termasuk hukuman penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp. 500 juta, bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan.
HRW Watch mewawancarai 18 wartawan dan enam pembela kebebasan pers di Balikpapan, Banten, Jakarta, Jayapura, Makassar, Medan, Padang, Pekanbaru, dan Surabaya. Mereka menggambarkan suasana resah, kekuatiran dan tindakan swasensor di banyak ruang redaksi, yang disebabkan oleh penganiayaan dan ancaman, yang dilakukan oleh aparat keamanan dan pihak berwenang setempat, yang tidak ditindak atau, dalam banyak kasus, bahkan tak diselidiki secara menyeluruh.
Penganiayaan yang dimaksud mencakup perusakan peralatan wartawan —terutama kamera dan kartu memori-- pelecehan, intimidasi, ancaman, dan serangan fisik. Bentuk-bentuk penganiayaan ini terjadi di semua pulau utama di Indonesia, khususnya di ibukota provinsi dan kota-kota kabupaten. Kasus kekerasan terhadap wartawan jarang ditemui di Jakarta karena mereka lebih tahu dengan hak mereka dan didukung oleh berbagai organisasi wartawan.
HRW menyelidiki tiga kasus penyerangan terhadap lima wartawan. Kelima korban telah melaporkan kasus yang menimpa mereka dan khawatir dengan kemungkinan adanya aksi balasan karena merinci kekerasan yang mereka alami.
HRW juga melaporkan bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat — (biasa disebut bersamaan sebagai “Papua”)—masih menjadi tempat yang sulit, baik bagi wartawan Indonesia maupun asing. Wartawan etnik Papua khususnya kerap menghadapi pelecehan dan intimidasi, dan sering menjadi korban, tindak kekerasan aparat keamanan dan pro-kemerdekaan saat meliput dugaan korupsi, pelanggaran HAM, perampasan lahan, dan topik peka lain. Pemerintah Indonesia juga masih terus membatasi akses para wartawan asing untuk melakukan liputan di Papua dengan alasan “keamanan” yang terkesan dibuat-buat, meski 10 Mei 2015 lalu Presiden Jokowi mengumumkan bahwa wartawan asing yang telah terakreditasi memiliki akses tanpa hambatan ke Papua.
Kemajuan yang dicapai Indonesia dalam hal kebebasan pers sejak Presiden Suharto mundur takkan berlanjut, jika pemerintah tak segera menanggapi secara tegas setiap kali wartawan dan organisasi media dilecehkan atau menjadi korban kekerasan, kata Human Rights Watch.
HRW mengatakan untuk memastikan agar hukum yang melindungi para awak media ini ditegakkan, Jokowi harus mendesak lembaga-lembaga negara, khususnya Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia, untuk menerapkan kebijakan yang sama sekali tak memberi toleransi pada kekerasan terhadap wartawan.
Sejumlah aparat keamanan yang diduga melakukan penyerangan terhadap wartawan harus segera diskors dari kesatuannya, dan sebagai sebuah bukti kesungguhan pemerintah, dituntut sebagai pelaku tindak kriminal. Setiap pejabat yang turut melakukan upaya menyelesaikan kasus kekerasan “secara kekeluargaan” –eufemisme buat penyelesaian di luar hukum-- harus dibebastugaskan. Akhirnya, pemerintah harus menyelenggarakan program pendidikan yang memadai tentang kebebasan pers bagi para pejabat pemerintah, polisi, dan aparat militer.
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...