HRWG: Aturan Pembatasan Ruang Unjuk Rasa di DKI Tidak Sah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koalisi LSM Indonesia untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG/Human Rights Working Group) menyesalkan tindakan Gubernur DKI Jakarta yang mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, dan terbatas hanya pada pukul 06.00-18.00.
HRWG menyatakan bahwa berdasarkan prinsip normatif HAM, peraturan ini tidak sah secara hukum karena pembatasan terhadap hak tersebut hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, bukan dengan Peraturan Gubernur.
Hal ini didasarkan pada kebebasan berkumpul secara damai dan menyampaikan aspirasi melalui aksi massa merupakan hak yang dijamin Konstitusi, Undang-undang No. 39/1999 Tentang HAM dan instrumen HAM internasional yang telah diratifikasi (Kovenan Hak Sipil dan Politik, UU No. 12/2005). Meskipun pembatasan terhadap hak ini dimungkinkan, Pemerintah seharusnya memperhatikan prosedur dan syarat pembatasan yang dilakukan.
Menurut HRWG dengan merujuk pada UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, Prinsip-prinsip Siracusa dan Prinsip-prinsip Johannesburg, pembatasan ruang demonstrasi atau unjuk rasa ini seharusnya dilakukan melalui Undang-undang (UU) yang dikeluarkan oleh lembaga legislatif di tingkat nasional. UU tersebut pun baru dapat dikeluarkan ketika ada pertimbangan komprehensif tentang perlunya membatasi tindakan-tindakan ekspresi yang mengancam kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, moral masyarakat atau sebagai perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain.
HRWG menilai bahwa peraturan ini menyimpan bahaya laten, baik pada pemerintahan saat ini atau setelah pergantian rezim kepemimpinan, yaitu potensial digunakan untuk memberangus protes dan unjuk rasa masyarakat terhadap suatu perkara. Di sisi yang lain, hal itu merupakan hak setiap warga negara dalam sistem demokrasi di Indonesia. Pembatasan demikian sangat mudah dan seringkali disalahgunakan oleh pemerintah untuk mengekang praktik-praktik ekspresi atau unjuk rasa.
Tidak sahnya peraturan ini juga dikuatkan dengan tidak adanya proses dialog dan diskusi dengan berbagai kalangan, terutama masyarakat sipil, yang menjadi sasaran dari kebijakan tersebut. Untuk itu, peraturan ini tidak memenuhi unsur akuntabilitas dan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pada pemikiran tersebut, HRWG meminta kepada Pemerintah DKI Jakarta untuk meninjau kembali Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka tersebut, dan bila diperlukan untuk menjaga terlindunginya hak-hak masyarakat, peraturan ini perlu dicabut.
HRWG juga berharap Pemerintah DKI Jakarta dalam menerapkan pembatasan hendaknya merujuk pada Prinsip-prinsip Siracusa dan Prinsip-prinsip Johannesburg, yang menegaskan bahwa pembatasan ruang ekspresi dan pendapat hanya dapat dilakukan dalam tempo yang terbatas, dengan pengawasan ketat dari parlemen, dan dikeluarkan oleh parlemen melalui UU. (PR)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...