HRWG: Jokowi Harus Buktikan Penegakan HAM di 2015
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Human Rights Work Group (HRWG) Rafendi Djamin mengatakan jargon Presiden Joko Widodo yang hendak memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara sebagaimana komitmen yang tercantum dalam Nawa Cita (sembilan agenda prioritas Jokowi-Jusuf Kalla) harus dibuktikan secara konsisten pada tahun 2015.
Menurut dia, hal itu merupakan janji politik yang akan terus-menerus dituntut oleh seluruh rakyat Indonesia, karena dengan komitmen tersebut masyarakat Indonesia menggunakan hak suaranya pada Pemilihan Presiden 2014 lalu.
“Tahun 2015 menjadi tahun pertama bagi Jokowi-JK untuk membuktikan menepati janji kampanye di Pilpres 2014 lalu, setidaknya untuk melindungi buruh migran Indonesia yang ada di luar negeri, dengan menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Buruh Migran, merevisi UU No. 39/2004 dan meratifikasi Konvensi ILO 189, penyelesaian permasalahan Papua, pelanggaran HAM berat masa lalu, dan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya seluruh rakyat Indonesia,” kata Rafendi dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, Senin (26/1).
Menurut dia, ada sejumlah tantangan besar dalam penegakan dan perlindungan HAM di tahun 2015, terutama dalam hal hubungan bilateral dan multilateral. Kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih mengarah pada kebijakan berbasis kepentingan ekonomi dapat dengan mudah menyampingkan aspek-aspek non-ekonomis dalam hubungan luar negeri, termasuk HAM.
Di sisi lain, Rafendi menambahkan, diplomasi yang menitik-beratkan pada ekonomi juga berpotensi memunculkan kasus-kasus pelanggaran HAM, sebagaimana banyak terjadi pada masa-masa sebelumnya ketika perusahaan bekerja sama dengan negara untuk menekan kelompok masyarakat.
“Selain aspek ekonomi, tantangan kebijakan luar negeri yang mempersulit gerakan pemajuan HAM di Indonesia ke depan adalah orientasi kedaulatan yang selalu digunakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK, termasuk HAM yang masih dianggap sebagai intervensi asing terhadap kedaulatan Indonesia,” ujar dia.
Padahal, Rafendi menilai orientasi kebijakan luar negeri yang nasionalistik buta ini justru akan menjadi titik awal lemahnya diplomasi Indonesia di mata internasional, karena tidak cukup fleksibel terhadap kerja sama dan kemajuan peradaban umat manusia.
Di samping itu, kata dia, tidak terlihatnya komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap HAM, terutama hak sipil dan politik, akan menjadi tantangan besar bagi masyarakat sipil dalam mendorong pemajuan dan perlindungan HAM dan demokrasi ke depan.
“Kesulitan ini tergambar dari penolakan Jokowi terhadap permohonan grasi yang diajukan oleh para terpidana mati. Dalam kasus penembakan pemuda dan warga di Paniai, Papua, walaupun Jokowi berkunjung ke Papua tak lama setelah kejadian itu, Jokowi sedikit pun tidak memberikan pernyataan dan sikap terhadap kasus tersebut,” kata Rafendi.
Outlook 2015
Berdasarkan hal tersebut, HRWG memandang bahwa outlook tahun 2015 ke depan berkaitan dengan beberapa hal, pertama, perdebatan tentang hukuman mati akan terus berlanjut dengan sikap pemerintah yang tetap melanjutkan eksekusi.
“Namun, pada sisi lain, program pemidanaan berbasis pembinaan telah digulirkan oleh pemerintah lewat RUU KUHP yang justru bertentangan dengan penerapan hukuman mati, apalagi komunitas internasional tidak meletakkan kasus narkotika sebagai most serious crimes,” kata Rafendi.
Kedua, dia mengungkapkan, pembangunan HAM di Indonesia ke depan akan memengaruhi kebijakan dan hubungan luar negeri Indonesia. Selama ini, Indonesia telah dikenal dengan New Emerging Democracy dan berkomitmen terhadap HAM, dalam hal ini ketika Pemerintahan Jokowi pada tahun 2015 tidak melanjutkan upaya-upaya pemajuan demokrasi dan HAM justru akan memperburuk posisi dan kemajuan yang telah dicapai oleh Indonesia.
“Hal ini serupa dengan mencoreng muka sendiri, karena kemajuan yang telah dicapai justru diciderai dengan komitmen yang lemah terhadap HAM, termasuk di antaranya adalah penghapusan hukuman mati. Kemunduran penegakan dan perlindungan HAM, secara langsung ataupun tidak, akan memperlemah posisi Indonesia di komunitas internasional dan regional, seperti di PBB, ASEAN dan OKI,” kata Rafendi.
Umat Beragama
Selanjutnya, dalam hal perlindungan minoritas, menurut dia ke depan diskursus publik akan disibukkan dengan RUU Perlindungan Umat Beragama yang tengah disusun oleh Kementerian Agama. Di satu sisi terdapat sejumlah kemajuan yang telah dicapai dalam proses mencapai RUU tersebut dapat disempurnakan.
Namun di sisi yang lain masih terdapat sejumlah isu-isu krusial yang menuntut perhatian publik, seperti isu tentang penodaan atau penistaan agama, pindah agama, dan kebebasan ekspresi di internet atau media sosial.
“Dengan demikian, untuk menjawab permasalahan-permasalahan kebebasan beragama yang muncul hampir 10 tahun terakhir di Indonesia, Pemerintah harus betul-betul membuka ruang dialog dan diskusi untuk mencapai standard terbaik perlindungan dan pemajuan perlindungan umat beragama. Tanpa dialog seperti itu, peraturan baru yang dibuat justru akan hanya menulis ulang peraturan-peraturan lama yang impact-nya menyasar kelompok minoritas agama,” kata Rafendi.
Dalam aspek lain, pascaperistiwa Charlie Hebdo di Paris, Prancis, muncul pertentangan antara kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi, yang kemudian berdampak pada dalam negeri. Bila konflik di level internasional ini tidak dikelola secara baik oleh Indonesia, maka ke depan, pengaruh konflik tersebut akan mengarah pada tindakan-tindakan intoleransi.
“Bahkan, konflik ini dapat menggiring opini publik pada pandangan anti-Barat,” ujar dia.
Rafendi menilai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dapat menjadi titik awal pemerintah Jokowi dalam menjawab tuntutan para korban pelanggaran HAM. Pernyataan Jokowi yang hendak memulai proses tersebut, secara yudisial dan non-yudisial, dengan mengakui korban pelanggaran adalah titik berangkat yang harus dilakukan dan mengarah pada pemenuhan hak-hak korban yang lain dan mengesahkan RUU KKR.
“Dalam hal ini, sebagai bagian dari Nawa Cita Jokowi-JK, sudah seharusnya bagi pemerintah untuk melanjutkan proses tersebut dan menjadikan isu penyelesaian HAM masa lalu sebagai agenda prioritas,” kata dia.
Selanjutnya, Direktur Eksekutif HRWG itu mengungkapkan reformasi sektor keamanan terkait dengan peranan TNI sebagai aktor pertahanan dan Polri sebagai aktor keamanan harus kembali dikuatkan di tahun 2015. Penguatan pasukan pertahanan penting untuk dilanjutkan, namun di sisi lain, menjaga ruang publik dari intervensi militer juga tetap harus dijaga.
“Proses reformasi sektor keamanan ini, setidaknya mengalami tantangan yang kuat di awal-awal masa pemerintahan Jokowi, karena keberadaan Kopassus di depan KPK pada dasarnya tidak seiring dengan semangat reformasi sektor keamanan yang meniscayakan TNI berada di barisan pertahanan,” ujar dia.
Dalam kasus Papua, Rafendi memandang Jokowi akan dihadapkan situasi sulit untuk mewujudkan harapan seluruh rakyat Papua. Selama ini, pemerintah selalu mengedepankan pendekatan keamaman terhadap setiap situasi di Papua, salah satunya dengan melibatkan militer dan menambah battalion di Papua yang justru terus melestarikan ketegangan antara hubungan sipil dan militer.
“Untuk itu, setahun ke depan seharusnya Jokowi–JK memprioritaskan Papua sebagai agenda penting dengan mengubah pendekatan militeristik ke pendekatan dialog, yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dan penanganan Papua yang tak kunjung selesai,” kata dia.
“Seharusnya, kasus Paniai yang menewaskan lima orang pemuda dan melukai puluhan warga di daerah tersebut dapat dijadikan test-case bagi Jokowi-JK untuk menyelesaikan permasalahan Papua hingga ke akar-akarnya. Dalam hal ini pula, Pemerintah harus memastikan adanya keterbukaan dan akses terhadap komunitas internasional di Papua,” Rafendi menambahkan.
Terakhir, hal lain yang juga akan meningkat pada tahun 2015 adalah konflik berbasis bisnis atau lahan, dalam kaitannya dengan agenda kebijakan ekonomi dan kesejahteraan pemerintahan Jokowi. Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK harus memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dan ekonomi harus dapat seiring dengan prinsip-prinsip HAM.
“Negara harus berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan yang melindungi HAM, sebagaimana ditegaskan di dalam UN Guiding Principle on Business and Human Rights (UNGP),” tutur Rafendi.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...