HRWG Kritik Jokowi Korbankan HAM demi Investasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Politik dagang dan investasi Indonesia yang belebihan di tahun 2015 menandai rendahnya komitmen pemerintahan Jokowi-JK terhadap kebijakan luar di bidang hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi,” kata Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG, saat ditemui dalam konferensi pers bertema Catatan Akhir Tahun 2015 dan Outlook Tahun 2016, hari Selasa (5/1), di Kantor HRWG, Jakarta Pusat.
Rafendi mengatakan, kebijakan luar negeri diletakkan pada kepentingan ekonomi semata, padahal capaian-capaian Indonesia di tingkat internasional dan regional, serta harapan besar komunitas internasional terhadap pemerintahan Jokowi-JK, adalah soft power yang seharusnya dapat digunakan untuk meraih kepentingan nasional yang lebih besar.
“Sayangnya, tahun 2015 menunjukkan fakta sebaliknya, politik investasi itu justru menurunkan kehormatan Indonesia di mata dunia, terutama di bidang HAM dan demokrasi,” kata Rafendi.
HRWG memandang bahwa selama tabun 2015, pemerintahan Jokowi-JK lebih banyak berfokus pada dagangan investasi dan pengkondisian stabilitas politik, yang dalam banyak kasus justru membelakangi agenda reformasi dan penegakan HAM dan demokrasi.
“Ketakutan akut pemerintah terhadap isu separatisme Papua, misalnya, menyebabkan pendekatan represif dan keamanan tetap digunakan, bahkan berlebihan, seperti larangan dan pembubaran aksi demonstrasi tentang Papua pada tahun 2015. Pembukaan akses terhadap Papua bagi media asing oleh Jokowi justru berbanding terbalik dengan pendekatan yang digunakan pemerintah dalam menyikapi masalah Papua. Hal ini pula yang tergambar dari sikap pemerintah Indonesia melanjutkan eksekusi pidana mati pada tahun lalu,” ujar Rafendi.
Menurutnya, di tingkat global, Bali Demokrasi Forum (BDF), Open Government Partnership (OGP), dan platform kerjasama multilateral lainnya di bidang HAM dan demokrasi tidak menjadi perhatian penting pemerintah, padahal dengan segala catatan yang ada, forum-forum tersebut adalah capaian penting Indonesia di kancah internasional dan menaikkan marwah Indonesia di mata dunia. Indonesia sebagai Negara demokratis dan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia belum mampu menguatkan sumber dayanya untuk kepentingan bangsa yang lebih besar.
Di tingkat regional, 2016 merupakan tahun Komunitas ASEAN. Langkah integrasi komunitas ASEAN akan mengacu pada sebuah dokumen “ASEAN 2025: Forging Ahead Together” beserta Cetak Biru pada ketiga sub-komunitasnya (politik dan keamanan, ekonomi dan sosial budaya).
“Sangat disayangkan, pada tahun pembentukan Komunitas ASEAN, ASEAN justru tidak berhasil memberi sinyal yang meyakinkan publik luas bahwa ASEAN tengah berbenah diri dengan benar-benar akan berorientasi dan berpusat pada rakyat," kata Rafendi.
Kata dia, klausul hak asasi manusia tidak ada pada pilar kerjasama ekonomi. Klausul hak asasi manusia hanya ada di dalam pilar politik keamanan dan sosial budaya. Hal ini bisa diartikan, kerjasama ekonomi di ASEAN tidak memiliki perspektif HAM. Di samping itu, respon yang lamban terhadap krisis-krisis kemanusiaan (emerging crisis) yang terjadi di kawasan seperti tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya (termasuk diusirnya para pengungsi Rohingya oleh beberapa negara ASEAN), termasuk juga terlambatnya penanganan kabut asap, semakin memperlemah keyakinan publilk akan kesiapan ASEAN dalam menjadi sebuah komunitas.
Lebih dari itu, menurutnya, di tingkat domestik, kebijakan ekonomi yang begitu kuat dicanangkan pemerintah ternyata tidak cukup peka untuk disandingkan dengan pendekatan HAM, seperti pada penguatan pendekatan HAM dalam RPJMN dan kebijakan nasional lainnya. HAM masih menjadi pemanis di atas teks, tidak mampu dijadikan ruh dari setiap kebijakan ekonomi dan pembangunan, termasuk pula mengintegrasikan rekomendasi Komite-komite PBB di dalam kebijakan dan program yang telah dicanangkan oleh Pemerintah.
Di sisi yang lain, belum ada upaya untuk mengelaborasi SDGs yang juga disusun dan disepakati bersama oleh Indonesia dengan komunitas internasional, terutama dalam meletakkan pendekatan HAM dalam pembangunan; serta mendorong pendekatan HAM dan bisnis dalam setiap operasi dan kegiatan bisnis dan korporasi di dalam negeri. Hal ini menyebabkan banyaknya pelanggaran HAM dan praktik kekerasan yang terjadi, terutama di bidang bisnis, dan di daerah-daerah yang selama ini tidak diperhatikan seperti Papua, sementara di sisi yang lain kegiatan bisnis berjalan secara dikotomis dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...