Hujan dan Kegalauan
Selalu ada pelangi sehabis hujan.
SATUHARAPAN.COM – Curah hujan sudah cukup tinggi di bumi Nusantara sejak Desember. Dan sekarang kita berjumpa dengan Januari, yang sering dianggap akronim dari hujan sehari-hari. Langit kelabu, gerimis manis, kilat bersilat, seru guruh, hujan meruah. Setidaknya sampai beberapa bulan mendatang kita akan mendapati tanah basah. Nah, sudahkah kita bergirang karena hujan? Sudahkah kita bersyukur karena hujan?
Realitasnya adalah kita kerap membiarkan suasana hati serupa dengan mendung di luar sana. Kita merutuki hujan yang turun pada pagi hari, menyulitkan kita berangkat ke kantor. Kita yang bekerja mengurus rumah pun mengeluhkan jemuran baju yang sulit kering. Belum masalah atap rumah bocor, sepatu basah, jalanan banjir, kendaraan macet. Masih mengeluh karena sayur di pasar gampang busuk. Buah-buhan tak berasa manis. Ada segudang catatan menyebalkan yang dituduhkan kepada hujan.
Maunya hujan turun saat kita telah tiba di rumah atau tempat tujuan. Maunya kita tidak repot kehujanan. Maunya hujan secukupnya saja sehingga tidak perlu banjir datang. Maunya hujan reda ketika pagi tiba, sehingga kita tidak malas beranjak dari kasur. Ah, mengapa kita begitu egois?
Padahal yang namanya musim sudah silih berganti sejak zaman purbakala. Ada saatnya ia punya klimaks, hujan deras sederas-derasnya. Sama seperti musim kemarau punya titik paling ekstrem. Hujan hanya menunaikan tugas yang diamanatkan oleh Tuhan. Salah kalau kita menuduh hujan sebagai tersangka.
Ada sebuah meme yang beredar di media sosial yang menyindir egoisme manusia di musim hujan. ”Dikasih panas, marah-marah. Dikasih hujan, marah-marah. Nanti kalau dikasih hujan air panas baru kapok!” Mungkin kita tertawa membacanya. Tetapi, begitulah adanya. Selalu ada ketidakcocokan. Selalu ada keluhan. Hujan berhasil menyuntik kegalauan.
Padahal ketika hujan baru saja matang datang dari langit, ia membasuh seluruh permukaan bumi. Membungkam debu gersang yang menyesakkan. Kalau sampai baju kita basah saat perjalanan ke kantor, mengapa kita tidak mengenakan jas hujan? Kalau tak punya jas hujan, mengapa kita tak membawa baju ganti? Kalau sampai ada banjir, itu artinya saluran air tersendat. Apa yang membuatnya tersendat, tak lain adalah sampah yang kita buang sembarangan. Kalau buah-buahan hambar rasanya, kita masih bisa mencecap manis dari secangkir teh manis hangat.
Selalu ada pilihan, selalu ada antisipasi. Andai saja kita lebih mengedepankan syukur dari pada mengeluh, kita akan baik-baik saja di musim apa pun. Selamat menikmati hujan! Ingat: selalu ada pelangi sehabis hujan; itu janji Tuhan!
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...