Hukum Bukan untuk Dilanggar, Tetapi Dicintai
SATUHARAPAN.COM – Apakah ciri masyarakat reformasi? Banyak jawaban yang bisa diajukan. Salah satunya, masyarakat makin tidak menaati hukum. Jalan raya merupakan contoh terbaik.
Jika kita amati, begitu banyak pengendara yang makin tidak menghiraukan aturan baku lalu lintas. Meski lampu lalu lintas telah berwarna merah, banyak pengendara motor menerobosnya tanpa rasa bersalah. Polisi terkesan apatis karena jumlah pelanggar cukup banyak.
Jika tidak bisa menerobosnya karena terhalang pengendara dari arah lain, mereka bergerombol melewati batas marka jalan menunggu lampu berubah hijau. Ketika lampu hijau menyala, mereka langsung tancap gas. Hukum makin melemah daya cengkramnya di masa reformasi ini. Tak sedikit orang berpandangan hukum dibuat untuk dilanggar.
Sungguh berbeda dengan pernyataan pemazmur ini: ”Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.” (Mzm. 119:97). Pemazmur melihat hukum bukan untuk dilanggar, melainkan untuk dicintai.
Mengapa? Karena pemazmur merasa dia menjadi lebih bijaksana ketimbang musuhnya, lebih berakal budi ketimbang gurunya, dan lebih mengerti ketimbang orang-orang tua. Dan semuanya itu terjadi kala sang pemazmur berpegang pada hukum Tuhan.
Lagi pula, Taurat Tuhan merupakan manual kehidupan. Tuhan sebagai pencipta manusia pastilah mengetahui seluk-beluk ciptaan-Nya. Sehingga, bersedia tanpa paksaan mengikuti jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya merupakan hal terlogis. Wong Dia pencipta kita, masak kita nggak mau menuruti-Nya?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...