Hukum Penghujatan Menjadi Momok bagi Warga Minoritas di Pakistan
LAHORE, SATUHARAPAN.COM - Orang tua itu menghadapi masalah yang dimulai ketika dua pemuda berseliweran di dalam klinik homeopati yang dikelolanya, dan dengan santai bertanya tentang agamanya. Dia pikir mereka hanya ingin tahu. Ternyata mereka berasal dari sebuah kelompok militan yang membawa alat perekam yang disembunyikan.
Dalam beberapa jam, polisi pun muncul di klinik itu. Masood Ahmad, pemilik klinik itu, diperdengarkan rekaman suaranya, di mana dia menjelaskan prinsip-prinsip yang dianut minoritas Ahmadiyah. Sekte ini ditolak oleh Muslim arus utama, karena perbedaan prinsip dasar iman mereka tentang Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir dalam iman Islam.
Ahmad baru kembali dari Inggris dan membuka klinik di kampung halamannya di Pakistan. Dia didakwa dengan pasal pelanggaran hukum penghujatan, dan jika terbukti dia bisa dijatuhi hukuman mati. Pria berusia 72 tahun itu telah dipenjara sejak penangkapannya bulan Januari ini, dan menunggu persidangan yang bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk dimulai.
Dalam kasus serupa, Ahmad tidak sendirian. Pekan lalu lalu, pengadilan Pakistan menghukum seorang pria Inggris yang disebutkan menderita gangguan mental, Mohammad Asghar. Dia dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penghujatan setelah dia dituduh mengaku sebagai nabi Islam.
Hukum Penghujatan
Hukum penghujatan di Pakistan semakin menjadi senjata ampuh bagi masyarakat yang disebut sebagai salah satu “gudang ekstremis Muslim.” Meskipun Pakistan belum pernah mengeksekusi terpidana di bawah hukum penghujatan, warga sering menjebak dan kadang-kadang membunuh penganut agama minoritas dengan tuduhan menghujat. Hal itu telah menciptakan iklim ketakutan, bahkan hakim takut menghadirkan saksi dalam sidang pengadilan yang membela orang-orang yang diadili.
"Saat ini, semakin banyak kasus penghujatan yang sidangnya tertunda," kata IA Rahman, salah satu aktivis HAM terkemuka di Pakistan. "Organisasi ekstremis menunjukkan dan meningkatkan slogan, dan hakim takut. Mereka mengagitasi sepanjang waktu, menciptakan kebencian, dan pemerintah tidak melakukan apa-apa. Pemerintah telah gagal,” kata dia.
Organisasi pegiat HAM, Human Rights Watch mengecam rekor Pakistan dalam kegagalan melindungi minoritas agama, dengan mengatakan dalam laporan dunia tahun 2014 bahwa "pelanggaran di bawah hukum negara marak dan kasar dengan hukum penghujatan yang digunakan terhadap kelompok agama minoritas, (bahkan) sering untuk menyelesaikan perselisihan pribadi."
Kementerian urusan agama pemerintah federal Pakistan juga menolak berkomentar. Para pejabat pemerintah tidak menjawab telefon untuk memberikan komentar.
Maulana Abdul Rauf Farooqi, sekretaris jenderal Jamiat Ulma-e-Islam, sebuah organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan banyak anggota Taliban Afghanistan, menolak tuduhan bahwa hukum penghujatan secara luas disalahgunakan untuk menyelesaikan perselisihan pribadi. Namun dia mengatakan mendukung penyelidikan polisi yang ketat sebelum dakwaan diajukan. Dia mengatakan mereka yang menyerang secara fisik telah membawa kekerasan pada diri mereka sendiri dengan membuat marah umat Islam.
Menurut Komisi Hak Asasi Manusia Pakistan, 34 orang didakwa dengan tuduhan penghujatan tahun lalu. Sebuah statistik pemerintah mengatakan 27 orang didakwa pada tahun 2012. Setidaknya 16 orang saat ini dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penghujatan, sementara 20 lainnya sedang menjalani hukuman seumur hidup, menurut Human Rights Watch.
"Dalam tiga tahun terakhir kita telah melihat peningkatan besar jumlah kasus penghujatan," kata Keith Davies, kepala RescueChristians, sebuah badan amal yang berbasis di Amerika Serikat yang mulai beroperasi di Pakistan empat tahun lalu.
Di Beberapa Negara
Hukum penghujatan di Pakistan diberlakukan, sebelum negara itu berdiri pada tahun 1947. Selama dekade 1980-an di bawah diktator militer yang didukung AS, Jenderal Mohammed Zia-ul-Haq, hukum itu diubah dengan menambahkan hukuman mati dan Islam sebagai satu-satunya agama yang tidak boleh dihina.
Namun Pakistan bukan satu-satunya negara yang memiliki undang-undang tersebut. Pelanggaran terkait penghujatan atau blasphemy dapat dihukum di lebih dari 30 tahun penjara. Ada juga negara yang didominasi umat Kristen juga memiliki hukum serupa, seperti Polandia dan Yunani. Sedangkan negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang menerapkannya adalah Indonesia dan Pakistan, seperti disebut dalam laporan tahun 2012 oleh Interfaith Center dari New York.
Sebagian besar dari 180 juta penduduk Pakistan adalah Muslim Sunni yang tidak mendukung kekerasan militan atau kebencian pada penganut agama minoritas. Namun demikian, kaum minoritas lain, termasuk Muslim yang berasal dari sekte Syiah Islam, mengatakan bahkan pertengkaran kecil bisa berubah dan menyebabkan mereka dipenjara atas tuduhan penghujatan yang dibuat-buat.
Abbas Kamaili, seorang ulama Syiah terkemuka, mengatakan kepada The Associated Press bahwa dia mendukung gagasan hukum penghujatan, tapi mengecam versi Pakistan sebagai hukum yang "ambigu" dan mudah terdistorsi oleh kepentingan Sunni militan yang ingin membersihkan negara itu dari kaum Syiah.
Semakin Brutal
Kekerasan yang berkaitan dengan hukum penghujatan di Pakistan disebutkan semakin brutal. Tiga tahun yang lalu, Gubernur Salman Taseer yang liberal dibunuh oleh pengawalnya sendiri setelah membela seorang perempuan Kristen yang dituduh menghujat. Dalam kasus terpisah, militan menembak mati Menteri Urusan Minoritas, Shahbaz Bhatti, setelah dia berkampanye untuk perubahan undang-undang tersebut. Juli lalu, dua bersaudara dituduh memfitnah Nabi Muhammad. Dia ditembak dan dibunuh saat mereka melangkah keluar dari ruang sidang.
Tariq, seorang Kristen, saat ini bersembunyi setelah pihak berwenang menuduhnya menghujat agama. Dia mengatakan tuduhan muncul setelah dia bertengkar dengan dua pelanggan yang membeli petasan rusak darinya. Ketika dia menolak untuk meminta maaf, pelanggan itu pergi ke polisi di Lahore dan mengatakan sebuah kebohongan bahwa dia mengisi petasan dengan kertas halaman yang dirobek dari Al Qur’an. Khawatir ditangkap oleh pihak berwenang Pakistan, dia mencari suaka di luar negeri. Dia berbicara dengan syarat bahwa tidak disebutkan identitasnya.
Perwakilan RescueChristians, Pakistan yang berbicara dengan syarat anonim untuk keselamatan pribadinya, mengatakan bahwa beberapa orang Kristen sedang menunggu dokumen perjalanan untuk diam-diam meninggalkan Pakistan. Sementara itu, yang lain telah berada dalam penjara menunggu persidangan dan ditargetkan untuk hukuman mati oleh kelompok-kelompok militan.
Terlalu Takut
Kedua pria muda yang menjebak Ahmad di klinik homeopati di Lahore, ibu kota Provinsi Punjab di Pakistan bagian timur itu berasal dari kelompok militan yang dilarang, Lashkar-e-Taiba, menurut polisi setempat. Lashkar-e-Taiba dan kelompok-kelompok ekstremis Muslim lainnya menganggap penganut sekte Ahmadiyah adalah sesat.
Tapi orang yang memiliki usaha di dekat klinik milik Ahmad mengatakan bahwa dia tidak pernah berusaha menyebarkan agamanya. Mereka mengatakan polisi yang diharuskan oleh perintah untuk menyelidiki secara ketat tentang tuduhan penghujatan sebelum mengajukan ke pengadilan, tidak pernah berbicara dengan mereka atau mengambil pernyataan mereka.
Tetangganya mengatakan mereka sedih dengan penangkapan itu, tapi tidak akan berani bersaksi untuk membela dia. Mohammad Ershad, seorang tukang potong rambut, yang disebut Ahmad "pria yang tahu banyak," menambahkan bahwa "orang-orang tidak ingin mengatakan apa-apa. Setiap orang merasa lebih baik untuk menyelamatkan diri. "
Habib, yang menjalankan bisnis fotokopi di dekatnya, mengatakan bahwa dia mengenal Ahmad selama 30 tahun. Namun dia terlalu takut untuk disebutkan dengan nama lengkapnya. Dia berkata, "Tidak seorang pun ingin berada dalam daftar target pemukulan oleh para mullah. Tidak ada yang bisa menghentikan mereka. Tidak ada yang aman. . ." (huffingtonpost.com/AP)
Selamatkan 6.261.329 Jiwa, Polri Ungkap Tiga Jaringan Narkob...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bareskrim Polri bersama jajaran mengungkap puluhan kasus narkoba yang di ...