Tindak Lanjut Setelah Sidang Raya WCC
LOCCUM, SATUHARAPAN.COM – Hampir seratus perwakilan dari gereja-gereja di Jerman yang merupakan anggota Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches – WCC) bertemu pada 16 hingga 18 Januari di Evangelical Academy of Loccum. Pertemuan ini adalah untuk saling berbagi pengalaman Sidang Raya ke-10 WCC di Busan dan mendiskusikan langkah bersama untuk memenuhi panggilan atas keadilan dan perdamaian.
“Semua dari 10.000 orang Korea yang hadir sebagai pelayan, pelajar, pengunjung, atau peserta program kunjungan telah merasakan atmosfer ekumenis pada Sidang Raya tersebut. Ini akan memiliki pengaruh pada kehidupan umat Kristen, sikap menghargai pada iman yang berbeda, serta kesadaran pada gerakan ekumenis,” ujar Dong-Sung Kim, sekretaris WCC wilayah Asia.
Banyak dari peserta Jerman yang merasa tergerak karena adanya laporan mengenai penangkapan karena kesaksian tentang kekristenan dan perdamaian.
“Di Korea, lagi dan lagi kami ditanyakan mengenai reunifikasi Jerman dan apa yang dapat orang Kristen lakukan untuk hal ini,” seorang peserta melaporkan.
Konrad Raiser, mantan Sekretaris Umum (Sekum) WCC, menggunakan Eropa sebagai contoh.
“Di Jerman, gereja-gereja tidak memiliki rencana proses reunifikasi yang sudah jadi. Dalam komunitas ekumenis, kami dapat belajar lebih jauh dari proses penyatuan di Eropa dan segala upaya untuk mencapai demokratisasi yang telah dicapai di sana,” ujar Raiser.
Dong-Sung Kim juga menekankan bahwa pertanyaan mengenai persatuan dan penentuan nasib di Korea bukanlah masalah nasional, melainkan lebih ke persoalan regional; hal ini sangat mungkin menjadi tema untuk dialog di masa depan antara gereja-gereja Eropa dan Asia Timur.
“Jika kita melihat kondisi politik zaman ini, kita melihat bahwa persekutuan ekumenis gereja tingkat internasional seperti Conference of European Churches (CEC) dan WCC menjadi sangat penting daripada sebelumnya,” ujar uskup Evangelical Church in Germany (EKD) untuk hubungan luar negeri, Petra Bosse-Huber yang ketika di Busan terpilih sebagai komite sentral dan eksekutif WCC.
“Saya mau mendedikasikan diri saya untuk membuat instrumen-instrumen kerja sama ekumenis ini makin kuat,” kata dia.
Baginya, kerja sama Eropa juga memiliki peran penting di sini, “Kita harus perlu berusaha lebih giat untuk membawa tema-tema yang penting bagi kita, gereja-gereja Eropa, untuk measuk ke wilayah publik,” ucap Bosse-Huber.
Melangkah Bersama
Para peserta pertemuan di Loccum berulang kali ditanyakan mengenai implikasi apa yang peziarahan miliki untuk aksi ekumenis jika dilihat dari sudut pandang metodologis.
“Para peziarah memahami ekumenisme sebagai suatu proses,” ujar Dr. Martin Robra, direktur program WCC untuk studi ekumenisme abad ke-21.
“Hal ini menunjukkan upaya ekumenis untuk persatuan sebagai sedikit dari banyak langkah kecil,” ujar Martin Hein, Uskup Evangelical Church Kurhessen-Waldeck.
“Peziarahan ekumenis ini memerlukan keterlibatan orang-orang yang dimarjinalisasi di masyarakat kita. Mereka yang harus menjadi penunjuk jalan bagi kita,” tambah Fernando Enns, profesor teologi perdamaian di Hamburg dan Amsterdam.
Sepanjang jalan peziarahan, sumber kekuatan akan sama banyaknya dengan rasa sakit. “Kita harus mengidentifikasi wilayah spiritual kita yang dapat memberikan “air hidup” dan dengan demikian dikuatkan untuk menghadapi rasa sakit di masyarakat kita dan belajar dari pengalaman di sana,” kata Heike Bosien, penyelenggara acara pertemuan Loccum ini.
Maka jaringan ekumenis More Ecumenical Empowerment Together (MEET) merencanakan peziarahan pada musim gugur tahun 2014 yang akan memimpin para dewasa muda dari berbagai iman ke sebuah “stasiun” yang terkait tema migrasi.
“Kami ingin menemui laki-laki dan perempuan yang akan menceritakan pada kita mengenai pengalaman mereka sebagai migran di Jerman dan jika memungkinkan bepergian ke sebagian tujuan kami,” ujar ko-inisiator Charlotte Eisenberg.
Kelompok studi ekumenis di Global Ecumenical Theological Institute (GETI) meninggalkan kesan yang baik di benak para peserta. “Ketika saya melihat peserta GETI, saya tahu, pendidikan ekumenis dapat menjadi sangat menyenangkan!” ujar Uskup Bosse.
“Pendidikan ekumenis harus berada di posisi teratas di agenda kita,” sambungnya lagi.
Para peserta juga sangat terkesan pada Kereta Perdamaian (Peace Train).
“Kereta Perdamaian adalah perjalanan tiga minggu dari Berlin ke Busan. Ini merupakan peziarahan yang mengubah saya,” ujar Daniel Jung, seorang Pendeta Jerman asal Korea.
“Kalau bukan karena pertemuan sesama penjelajah, harapan mereka menyeberangi Korea Utara dan rasa sakit mereka ketika hal ini tidak mungkin, saya tidak akan pernah memahami bahwa perpecahan Korea masih sangat penting bagi orang-orang saat ini,” tambahnya. (oikoumene.org)
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...