Menyambut Sidang Raya PGI: Gereja dalam Samudera yang Bergelora
SATUHARAPAN.COM - Air ternyata memiliki energi dahsyat untuk menghancurkan, dan itu ada di tsunami. Ketika bencana ini terjadi di Aceh, termasuk di Nias tahun 2006, masyarakat di sana merasakan sebuah kengerian akibat kehancuran: kematian anggota keluarga dan kerabat, kerusakan pemukiman, perkebunan, dan fasilitas-fasilitas penunjang kehidupan lainnya. Ada duka mendalam dan putus asa. Sebuah kengerian yang luar biasa. Namun, karena kegigihan dan semangat untuk hidup, maka kengerian berangsur-angsur berubah menjadi harapan.
Itulah pelajaran penting dari bencana tsunami, yaitu terbangunnya kesadaran baru dan cara pandang baru tentang cara dan makna berelasi antar sesama manusia, dan antara manusia dengan alam. Kesadaran tersebut muncul ketika masyarakat yang selamat dari bencana itu berhasil melewati sebuah krisis mental dan spiritual.
Muncul sebuah refleksi yang memacu gerak kehidupan. Itulah semangat baru. Dengannya maka muncul semacam usaha menata kembali kehidupan pada semua aspek di masyarakat tersebut. Baik pada aspek sosial, politik, ekonomi, budaya maupun di wilayah keagamaan. Hal tersebut dihasilkan dari sebuah usaha memahami atau memaknai ulang sejarah dan pengalaman hidup komunitas.
Perlunya Kesadaran Baru
Dengan cara pandang seperti di atas, saya memahami refleksi atas bencana tsunami dan Nias yang terumus dalam tema Sidang Raya Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ke-XVI di Nias November nanti, sangatlah relevan dengan kondisi kekinian. "Dari Samudera-Raya Bumi, Tuhan Mengangkat Kita Kembali," kalimat ini sangat reflektif. Ia mengarahkan orang untuk memberi perhatian terhadap makna samudera yang luas dan penuh gelora (dinamis), dan kemahakuasaan Sang Ilahi yang tak terbatas.
Tema ini sungguh penuh pengharapan. Hal penting untuk didiskusikan adalah bagaimana tema itu direfleksikan dalam konteks Indonesia yang berhadapan dengan globalisasi yang sungguh dinamis dengan konteks kulturalnya yang majemuk, namun sistem kekuasaan politiknya yang cenderung status quo. Bahwa, meski sejak reformasi digulirkan 15 tahun lalu sudah berapa kali terjadi pergantian rezim, partai-partai ramai berdiri, bermunculan pemimpin-pemimpin politik yang baru, dan pemberlakuan otonomi daerah, namun sistem kekuasaannya relatif tidak berubah.
Gejala-gejala tersebut sepertinya sedang menggambarkan bahwa praktik politik dan ekonomi kita sedang terjebak pada sebuah sistem kekuasaan yang keliru. Doktrin nasionalisme yang hegemonik juga sedang melumpuhkan kesadaran bebas, yang membuat setiap orang berpikir, bahwa hanya ada satu cara bernegara. Pikiran menjadi terseragam. Sistem dan doktrin itu seolah menawan usaha-usaha untuk mencapai visi bernegara. Kekuatan itu sungguh tidak terasa sehingga ia tidak diperhatikan.
Reformasi 1998 sepertinya juga tidak menyentuh hal tersebut. Padahal, sejarah politik negara ini sebenarnya kaya dengan pelajaran tentang makna hidup bersama. Ada pelajaran berarti tentang tidak manusiawinya tubuh dan jiwa yang terjajah di masa kolonialisme yang dengannya pendahulu kita berontak dan memperjuangkan kemerdekaan.
Ada pelajaran tentang bahaya hubungan antara agama dan negara jika satu di antaranya mendominasi yang lain dari sidang-sidang BPUPKI tahun 1945. Ada pelajaran tentang pentingnya menjadi negara yang berdaulat, bukan hanya teritorial, melainkan juga ideologi sehingga tidak dengan mudah menjadi bulan-bulanan pertarungan ideologi global dari peristiwa saling bantai tahun 1965.
Ada pengalaman berharga tentang bobroknya rezim penguasa di masa orde baru. Mestinya, dari sejarah dan pengalaman itu, negara ini belajar tentang bahaya sistem kekuasaan yang absolut dan terpusat serta doktrin bernegara yang hanya menciptakan kesadaran semu. Hal ini mestinya menjadi pemicu untuk membangun kesadaran baru dan cara pandang baru. Yaitu, sistem kekuasaan negara ini haruslah merupakan refleksi atas kemajemukan agama dan kulturnya.
Gereja sebagai Gerakan
Gereja Kristen di Indonesia hadir dan mengada di negara ini. Sejarah dan pengalaman bernegara yang penuh tragedi tersebut, bagaimanapun telah memberi pengaruh bagi gereja untuk merumuskan pemikiran dan aksi teologisnya. Konkretnya, dalam hal ini kita berbicara gereja-gereja Protestan yang bersama-sama dalam Dewan Gereja-gereja di Indonesia (berdiri tahun 1950) dan kemudian pada tahun 1984 berubah nama menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), hal itu tampak antara lain dari tema-tema dan rumusan-rumusan pemikiran pada setiap pelaksanaan sidang raya.
Sadar atau tidak sadar, gereja telah menjadikan sejarah dan pengalaman tersebut sebagai konteks dan teks. Sebagai teks, gereja menjadikan itu sebagai makna "di sini" untuk didialogkan dengan teks "dari sana." Maka, ketika terjadi tragedi dan mengacaukan kehidupan bersama, maka sudah menjadi tanggung jawab gereja untuk berpihak pada korban, rakyat kebanyakan dan alam yang dieksploitasi.
Namun, menurut saya, satu soal yang masih menjadi permasalahan bagi gereja di Indonesia adalah ketidakberaniannya untuk mengambil resiko, yaitu membebaskan diri dari logika kekuasaan yang dibangun oleh negara. Gerakan oikumene oleh gereja-gereja di Indonesia sejak pertengahan abad 20 lalu, seperti hanya memilih satu jalan, yaitu jalan yang dibangun oleh kekuasaan negara. Padahal, Injil (euangelion) dan ekklesia (gereja) pada mulanya adalah kritik terhadap kekuasaan yang absolut, sehingga kemudian menjadi semacam pemikiran alternatif untuk membebaskan. Ketika dengan sendirinya, dan ini rupanya bagian dari proses dialektika peradaban, hampir semua aspek kehidupan kita sekarang sedang menata dirinya kembali, maka sesungguhnya masyarakat dunia, termasuk di Indonesia sedang berada pada sebuah masa transisi.
Krisis politik dan ekonomi, yang ditandai dengan revolusi politik di beberapa negara serta kebangkitan ekonomi "hiperkapitalistik" menjadi gejala masa transisi tersebut. Sebuah era di mana kekuatan-kekuatan ideologi kembali bertarung. Di tengah harapan munculnya cahaya baru bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia, gereja sebenarnya memiliki kesempatan untuk menyatakan dan menegaskan diri, sebagai persekutuan yang menggerakkan untuk damai sejahtera (syalom).
Dengan demikian gereja perlu menata dirinya kembali. Termasuk membebaskan dirinya dari kerangkeng doktrin kekuasaan negara. Gereja harus kembali menjadi persekutuan yang progresif, sebuah persekutuan yang menggerakkan. Gereja harus menjadi gerakan untuk semua. Menuju ke sana, yang pertama-tama dilakukan adalah pengosongan diri, membebaskan diri dari penjara institusionalisasi dan ideologisasi terutama dari kerangkeng logika kekuasaan negara.
Misi ini sebenarnya adalah usaha mengembalikan hakikat dirinya yang sebenarnya, sebagai sebuah gerakan yang melampaui kekuasaan politik dan ekonomi. Yesus dan murid-murid-Nya, adalah teladan ideal untuk model gerakan itu. Gereja dengan model seperti itu memungkinkan dia memperjuangkan keadilan, kesetaraan dan perdamaian untuk sekalian alam. Sebuah model bergereja yang tidak berorientasi pada struktur kekuasaan dan klaim kebenaran. Dengannya, ketika menyebut kata "gereja" dan "kristen" orang-orang banyak akan mendengar kabar baik, sebuah berita pembebasan, bukan sebuah klaim.
Penulis, dosen Fakultas Teologi UKIT dan pegiat di Mawale Cultural Center, tinggal di Tomohon, Minahasa.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...