HUT DKI: Kota Tua dan Cerita PKL yang Tak Diakui
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Yono, atau cukup disapa Yon, adalah salah satu dari ratusan pedagang yang mengadu nasib di Kota Tua, di Jakarta Utara. Ia memilih lokasi berjualan tahu gejrot di seberang Museum Fatahillah. Sehari-hari ia menghabiskan waktunya di tempat itu.
“Dari pagi hingga magrib biasa berjualan di sini. Kalau malam Minggu begini, ya ramai sampai malam,” kata dia, Sabtu (13/6).
Yono hidup sendiri di kota metropolitan ini. Ia rela meninggalkan keluarganya di Tegal, Jawa Tengah, demi mendapat penghasilan di Jakarta.
“Di Tegal kerja apa? Bertani, sawah saya nggak punya,” kata Yon.
Sudah puluhan tahun lelaki paruh baya itu hidup bertarung melawan kerasnya Kota Jakarta. Sejak 1980-an, ia pernah menjadi kuli es batu sebelum akhirnya berjualan tahu gejrot setahun terakhir ini.
Dengan gerobak kepunyaan sendiri, Yono merasa lebih senang bekerja tanpa harus menyetor kepada juragan. Ia bisa menentukan sendiri jumlah tahu yang akan dia jual dan ia pun bisa tentukan sendiri waku istirahat. “Kan, lebih enak kalau kerja sendiri. Kalau kurang setoran, nggak diomelin,” begitu katanya, sembari tersenyum simpul.
Ia mengaku rata-rata meraup pendapatan kotor sekitar Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Keesokan paginya, dia menyisihkan lagi untuk menambah bahan baku tahu dan keperluan bumbu-bumbu lainnya. “Tidak tentu dapatnya. Kadang-kadang malah kurang dari Rp 100.000. Kalau di sini, Sabtu dan Minggu doang yang untung,” ujarnya.
Yono ternyata juga kerap merasakan penertiban petugas. Satu tahun silam ia menjajakan dagangannya di lokasi yang lebih dekat dengan Museum Fatahillah. Namun, kini demi ketertiban, ia harus rela diatur.
Ia harus nrimo atas rezeki yang dia dapat dari hasil berjualan. “Kalau (Sabtu) ini, kan, ramai, sampai pagi. Namanya juga rezeki, mumpung kesempatan lagi bebas. Kalau sudah diatur, ya, lain lagi,” kata Yono yang mengatakan tidak memiliki pekerjaan lain.
Tak jarang pula Yono harus lari meninggalkan gerobaknya untuk berteduh bila hujan datang. Tidak hanya itu, satuharapan.com juga sempat menyaksikan ia menyerahkan lembaran uang ke dalam genggaman petugas berseragam. Wajahnya datar, seakan-akan sudah biasa, dan tak perlu lagi mengeluhkannya.
Ia harus menyisihkan sekitar Rp 4.000 sampai Rp 6.000 setiap hari untuk kebersihan, hansip, dan satpol PP demi mempertahankan lapaknya meski tidak memiliki surat izin berdagang di kawasan bersejarah itu.
Di matanya, Jakarta adalah kota yang tak pernah sepi. “Meriah,” meminjam istilah Yono. Ia berharap kota metropolitan ini bisa memberinya hidup enak dan nyaman. Tak mengapa jika sebagai pedagang ia harus diatur, namun disediakan tempat yang baik untuknya mencari lembaran uang demi menyambung hidup.
Tak Diakui: “Mereka Bukan PKL Binaan Kami”
Menanggapi pungutan liar itu, Kepala Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah Perdagangan (KUMKMP) Pemprov DKI Jakarta, Joko Kundaryo mengaku hingga saat ini belum mendapatkan laporan. Menurut Joko, Satpol PP tak seharusnya melakukan pungli karena biaya retribusi PKL dibayarkan langsung melalui sistem autodebet. Untuk itu, Joko mensinyalir PKL yang membayar pungli kepada Satpol PP ialah PKL yang ilegal dan bukan binaan Pemprov.
"Belum ada laporan, itu bukan binaan kami, itu PKL liar. PKL binaan kita teratur karena yang legal sudah bayar retribusi online dengan autodent. Kalau binaan kita sekarang sudah tahu dan ngerti," ujar Joko di Balai Kota, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Saat ini PKL yang dilegalkan Pemprov DKI sudah melalui pembinaan sehingga petugas pun tak berani memungut biaya retribusi liar.
"Nggak mungkin mereka mau di-kolek sama siapa pun, semua udah dibina. Petugas juga nggak berani. Biasanya kalau dimintain, dia akan lapor ke sudin masing-masing ke pembinaannya," katanya.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...