HUT ke-71 Kemerdekaan: Kebebasan Beragama di Indonesia Terburuk di Dunia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Kaukus Pancasila, Eva Kusuma Sundari, menilai kebebasan beragama di Indonesia terburuk di seluruh dunia.
Berdasarkan riset Kaukus Pancasila, ada dua faktor yang menyebabkan tingkat kebebasan beragama di Indonesia terburuk, yakni jumlah kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil (social hostilities) dan regulasi pemerintah yang membatasi (government restrictions).
Fakta tersebut dipaparkan Eva di pertemuan Asia Foundation dengan 16 mitra mereka dalam program PROSPECT, yang bekerja untuk peningkatan perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan beragama serta HAM di Indonesia. Pertemuan berlangsung pada hari Kamis (11/8) di Solo.
“Masyarakat internasional mulai meletakkan Indonesia sebagai kasus serius di arena global. Jadi, berbangga diri bahwa kita sebagai model masyarakat toleran adalah ironi dan paradoks," kata Eva, saat mintai tanggapan oleh satuharapan.com tentang kebebasan beragama terkait HUT ke -71 Kemerdekaan Republik Indonesia pada hari Jumat (12/8).
Dalam riset yang sama, ditemukan korelasi negatif antara tingkat kemakmuran (HDI) dengan tingkat kekerasan berbasis agama. Karena konflik kekerasan agama mayoritas terhadap agama minoritas bersifat dinamis, yaitu korban di Indonesia Barat bisa menjadi kelompok pelaku di Indonesia Timur.
Karena itu, bagi Eva, pilihan paling rasional untuk menyelesaikan konflik tersebut harus berdasar konstitusi, dan bukan agama tertentu. Bagi Eva, itu berarti dengan menjadikan Pancasila dan pilar-pilar berbangsa dan bernegara sebagai titik temu beragam agama.
Hal itu, kata Eva, mengacu pada hasil penelitian dari PEW Research Center's Forum on Religion "Trends in Religious Restrictions and Hostilities 2015 (http://perform.org) untuk tingkat kebebasan beragama di 25 negara berpenduduk terbesar di dunia.
Cara tersebut disepakati oleh Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat. Namun, cara ini juga mempunyai tantangannya sendiri, yaitu bagaimana Pancasila bisa diturunkan ke level ethos (pelaksanaan) bukan sekadar logos (pengetahuan) dan pathos (penghayatan) saja seperti sosialisasi MPR selama ini.
“Para pemimpin daerah sering terlibat deal-deal di bawah meja, berupa kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap agama minoritas di daerah tersebut jika kelak si calon menang," Imdadun menambahkan.
Ia menceritakan, dari pengalamannya di Komnas HAM melakukan advokasi kasus-kasus kekerasan berbasis agama, DPR seharusnya mengintegrasikan Pancasila ke dalam legislasi, yaitu menjadi norma-norma dalam produk perundangan.
“Tidak cukup di level konsep atau prinsip-prinsip. Pancasila dan UUD harus jadi norma hukum supaya memudahkan penegak hukum menjalankan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan/berkepercayaan,” kata dia.
Editor : Sotyati
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...