HUT ke-71 Kemerdekaan: Peran Pemuda dalam Proklamasi
SATUHARAPAN.COM - Kemerdekaan Republik Indonesia tidak terlepas dari peran pemuda kala itu. Pasca dijatuhkannya bom atom di Jepang pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945 oleh Amerika Serikat (AS), para pemuda dengan cepat memanfaatkan peluang tersebut untuk menyatakan kemerdekaan.
Namun, langkah cepat para pemuda Indonesia itu tidak sejalan dengan golongan tua, yakni Soekarno, Muhammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat. Ketiganya masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang sebelumnya bernama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Sebelum BPUPKI dibentuk, di Bandung telah diadakan Kongres Pemuda Seluruh Jawa yang diprakarsai oleh Angkatan Moeda Indonesia. Kongres itu mengimbau para pemuda di Jawa untuk bersatu dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan proklamasi.
Dalam kongres itu disimpulkan perlu ada percepatan dalam pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Maka pada tanggal 15 Juni 1945, dibentuklah Gerakan Angkatan Baroe Indonesia. Kegiatan-kegiatan gerakan itu banyak dikendalikan para pemuda dari Asrama Menteng 31, yang anggotanya terdiri atas penduduk asli Indonesia dan bangsa Jepang, golongan Cina, golongan Arab, dan golongan peranakan Eropa.
Kekalahan Jepang tersebut, sebenarnya dimanfaatkan oleh para pemuda Indonesia yang menyadari adanya kekosongan kekuasaan di Indonesia. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, pada tanggal 15 Agustus 1945, para pemuda yang terdiri atas Sutan Syahrir, Chaerul Saleh, Darwis, dan Wikana, mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
"Sekarang Bung, sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi!" kata Chaerul Saleh, meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. "Kita harus segera merebut kekuasaan!" kata Sukarni berapi-api.
Seruan “Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami!" terdengar bersahutan.
Wikana, pemuda asal Sumedang, Jawa Barat, melangkah dengan sebilah pisau terjulur di tangannya. “Revolusi di tangan kami sekarang, dan kami memerintah Bung. Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, maka…”
“Maka apa?” Bung Karno berteriak, sambil bangkit dari kursinya. ”Ini batang leherku,” katanya setengah berteriak sambil mendekati Wikana. “Seret saya ke pojok itu dan potong malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari!” kata Bung Karno, setengah berteriak.
Cuplikan dialog di atas itu dikutip dari cerita Marwati Djoened Poesponegoro, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia I, Edisi ke-4,yang mengungkapkan peran pemuda dalam proses menuju kemerdekaan. Mereka memaksa Bung Karno, yang mereka sebut golongan tua saat itu, untuk segera membacakan proklamasi kemerdekaan.
Pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, yang kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka, mendesak pendeklarasian kemerdekaan RI. Kisah itu berbuntut “aksi penculikan”. Pada 16 Agustus 1945 dini hari mereka membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok.
Para pemuda bermaksud menekan Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan, lepas dari segala kaitan dengan Jepang. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Kisah dialog Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok itu, tidak jauh berbeda dengan kisah yang dilontarkan Lasmidjah Hardi, salah satu wanita pejuang saat itu, seperti dikutip dari setneg.go.id, "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu ...".
Bung Karno yang sedang duduk, segera beranjak dari kursinya sambil berteriak, "Lalu apa?", dengan kemarahan yang menyala-nyala. “Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara. Waktu suasana tenang kembali, setelah Bung Karno duduk, dengan suara rendah ia mulai berbicara; ‘Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17".
Soekarno, saat itu, belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah. Dan, apabila memproklamasikan kemerdekaan saat itu, dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
Soekarno dan Hatta Dilepaskan, Kembali ke Jakarta
Peranan Achmad Subardjo sangat penting dalam peristiwa kembalinya Soekarno dan Hatta ke Jakarta, karena ia mampu meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi kemerdekaan akan dilaksanakan pada 17 Agustus 1945, yaitu keesokan harinya, paling lambat pukul 12.00 WIB. Nyawanya sebagai jaminan. Akhirnya, Subeno sebagai komandan kompi Peta setempat, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta ke Jakarta. Soekarno dan Hatta pun kembali ke Jakarta.
Setelah Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta dari Rengasdengklok, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda, tidak mau menerima Soekarno-Hatta, dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut.
Nishimura mengemukakan, sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945, telah diterima perintah dari Tokyo, bahwa Jepang harus menjaga status quo. Tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Tentu saja Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu. Keduanya bersama Achmad Subardjo, dan disaksikan oleh Sukarni, BM Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik, akhirnya pada dini hari menyusun naskah proklamasi. Pagi hari, 17 Agustus 1945, bertepatan dengan bulan suci Ramadan, kemerdekaan RI dideklarasikan.
Deklarasi sempat akan dilakukan di Lapangan Ikada. Namun, demi alasan keamanan, kemudian dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56, atau sekarang Jalan Proklamasi nomor 1.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
Organisasi Pemuda Banyak Menyumbang Gagasan
Dari peristiwa sejarah itu, banyak pihak mengkaji apa peran pemuda yang terbesar dalam kemerdekaan. Salah satu studi literatur yang dilakukan Saifulloh Ramdani, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Sejarah Universitas Indonesia, menyimpulkan pengamanan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok oleh pemuda merupakan suatu peristiwa yang memiliki arti penting bagi terlaksananya proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Pemuda memilih jalan tersebut sebagai bentuk upaya untuk segera merealisasikan cita-cita bangsa yang sudah lama didambakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu kemerdekaan. Adanya dinamika yang terjadi dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia antara pemuda dan kelompok Soekarno-Hatta, menjadi catatan sejarah, betapa besar perjuangan para founding father negara ini untuk menciptakan suatu negara yang merdeka dan berdaulat serta terbebas dari intervensi bangsa lain.
Adanya perbedaan persepsi atas apa yang dilakukan pemuda dengan mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok menjadi perbincangan menarik. Pandangan yang menyebutkan bahwa tindakan yang diambil pemuda dengan mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok adalah suatu hal yang sia-sia, nyatanya tidak terbukti. Pengamanan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok jelas memberikan dampak secara langsung bagi terlaksananya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dampak langsung ialah adanya kebulatan tekad dari seluruh elemen, baik itu kelompok pemuda dan kelompok Soekarno-Hatta, untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepatnya. Selain itu upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka 100 persen atas buatan bangsanya sendiri, dapat menjadi kenyataan.
Dapat disimpulkan, tindakan yang dilakukan pemuda dengan mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok merupakan suatu peranan strategis dari pemuda dalam mewujudkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Seperti diungkapkan ahli Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, Benedict Richard Anderson atau Ben Anderson, campur-tangan pemuda yang sangat besar dalam jalannya revolusi di Indonesia disebut “revolusi pemuda” seperti dikutip dari sinergibangsa.org. Ben berkata, “Akhirnya saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda ini.”
Pramoedya Ananta Toer, salah seorang sastrawan besar Indonesia, mengatakan sejarah Indonesia adalah sejarah pemuda Indonesia, yang dimulai dengan Perhimpunan Indonesia di Belanda, Sumpah Pemuda, Revolusi Agustus 1945, bahkan hingga penggulingan Soeharto.
Perhimpunan Indonesia, yang beranggotakan mahasiswa Indonesia di Belanda, merupakan salah satu organisasi pemuda yang banyak menyumbang gagasan mengenai Indonesia merdeka, terutama terkait terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda.
Para pemuda-pemuda itu, sekembali ke Tanah Air, menjadi kemudi dari berbagai partai politik pergerakan: Partai Nasional Indonesia (PNI)–sebelum dibubarkan, Partindo, PNI-Baru, PKI, dan Partai Syarekat Islam.
Para pemuda pula, ketika kesempatan dan momen itu tiba, mendesak dan memaksa Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pasukan sekutu yang diboncengi tentara Belanda, berusaha menjajah kembali Indonesia. Dalam berbagai pertempuran, sebagaimana juga dikisahkan banyak saksi sejarah, para pemuda ambil bagian sebagai martir-martir yang gugur di masa-masa awal mempertahankan republik baru ini.
Jaktim Luncurkan Sekolah Online Lansia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur meluncurkan Sekolah Lansia Onl...