HUT ke-71 Proklamasi: Agama Lokal Menagih Hak Konstitusional
Setelah 71 tahun hidup di alam kemerdekaan, kelompok-kelompok penganut agama lokal Nusantara masih terus mengalami diskriminasi. Padahal mereka adalah pemilik sah tanah dan air ini. Apa yang harus dilakukan?
SATUHARAPAN.COM - Perjalanan panjang mendampingi komunitas agama lokal nusantara, menghentak kesadaran kita bahwa meskipun Indonesia telah 71 tahun merdeka, namun mereka mengaku belum menikmati hasil kemerdekaan yang telah cukup umur itu. Pengalaman peminggiran terhadap mereka masih menjadi cerita duka yang menyertainya. Mereka bagaikan tamu di negeri sendiri yang setiap saat menjadi obyek perebutan dalam kontestasi politik maupun penyebaran agama. Tidak cukup cerdaskah kita mengelola keberagaman, khususnya dalam soal agama?
Dinamika Ekstenal sebagai akar diskriminasi
Selama ini kita menyaksikan praktik diskriminasi yang terstruktur dan sistematik. Telah menjadi pemahaman umum, atau bahkan sering menjadi cerita gundah berulang-ulang, bahwa praktik-praktik diskriminasi secara langsung ataupun tidak melibatkan empat aktor utama. Pertama, diskriminasi melibatkan aktor pemerintah atas nama negara melalui produk-produk kebijakkan. Pada level negara cq. pemerintah, disadari atau tidak telah membangun sistem kebijakan dan/atau sistem regulasi pengelolaan keberagaman yang serba ambigu dan tumpang tindih.
Kedua, diskriminasi yang dilakukan oleh kelompok agama dominan melalui definisi terhadap sesuatu yang disebut ”Agama” dan bukan agama. Disadari atau tidak ternyata pondasi toleransi di masyarakat kita masih cukup rapuh, akibatnya perlindungan Kebebasan Beragama dan Kepercayaan tidak cukup terpenuhi karena antara penegak hukum dan rapuhnya pondasi toleransi menjadi dua akar masalah yang berhubungan secara interkausal. Dalam konteks ini diskusi kebenaran agama dan kepercayaan bukan berdasarkan kebenaran apa adanya, melainkan melalui ”religius discourse” atau kebenaran yang diinginkan oleh agama dan kepercayaan dominan. Melalui semangat monopoli akan kebenaran agama-agama besar melakukan politik penyingkiran (exclusionary politic) terhadap agama lokal.
Ketiga, praktik diskriminasi terhadap pemeluk agama lokal nusantara melibatkan kalangan akademisi yang dibangun melalui stigma-stigma dan kategorisasi akademik terhadap sesuatu kepercayaan yang disebut ”agama”. Keyakinan yang datang ke Nusantara disebut agama dengan segala hak yang melekat di dalamnya, sementara keyakinan lokal tidak dianggap sebagai agama dengan segala persoalan yang melekat terhadapnya. Bahkan lebih tragis keyakinan lokal distigma sebagai keyakinan primitif dengan sebutan stigma animisme atau dinamisme dan lainnya.
Keempat, diskriminasi yang dilakukan oleh media-media mainstream dengan liputan-liputan yang menggunakan mindset agama dominan. Antara lain liputan ”primitive runway” yang menggambarkan bahwa penganut keyakinan lokal dipandang sebagai manusia primitif dan tidak jarang dianggap menjijikkan makanannya. Ritual-ritual agama lokal diekploitasi sebagai tontonan mistis dan diperankan sebagai pelaku antagonis versus agama dan keyakinan dominan sebagai pihak yang berperan protagonis. Akibatnya opini yang terbentuk agama lokal dengan segala ritualnya sebagai penjahat, klenik ilmu hitam dan angker, sedang agama pendatang sebagai agama putih, suci dan penegak kebenaran.
Dinamika internal agama lokal
Di luar keempat isu tersebut, pada internal komunitas agama lokal juga memiliki persoalan yang tidak bisa dianggap sederhana. Selain friksi yang terjadi antara kelompok penghayat yang memilih berorganisasi dengan yang memilih tidak berorganisasi juga menjadi perdebatan yang melelahkan terkadang cenderung tidak sehat. Tetapi tak antara kedua kelompok jarang saling menuding dengan argimen masing-masing. Dan ini tentunya menjadi situasi yang ditunggu-tunggu untuk menghambat pemenuhan hak konstitusional mereka.
Alasan yang digunakan kelompok agama lokal yang berorganisasi sangatlah logis. Antara lain: Bagi mereka perjuangan pemenuhan hak akan identitas keagamaan yang mereka yakini adalah harapan dan cita-cita ideal. Nnamun anak-anak mereka tidaklah hidup di alam idealisme. Mereka butuh sekolah, butuh pekerjaan, butuh nikah. Antara lain catatan/akte kelahiran, pendidikan, akte nikah, dan yang terpenting mereka ingin mendapatkan kenyamanan dalam pergaulan sosial tanpa stigma. Atas alasan itulah, realitas politik harus disikapi dengan membentuk organisasi, sembari terus berjuang menuntut hak-hak konstitusionalnya yang talah telah diabaikan negara.
Di lain pihak, meraka yang memilik tidak berorganisasi berangkat dari alasan bahwa dalam negara demokrasi, berorganisasi atau tidak berorganisasi adalah hak, alias bukan kewajiban. Selain itu hal penting yang tidak boleh diabaikan pengalaman traumatik berorganisasi, yang ternyata selain belum menjamin mereka bisa hidup nyaman, tetapi juga pengalaman traumatik pembubaran dan penganiayaan oleh rezim yang berkuasa utamanya zaman Orde Baru.
Kedua argumentasi dari kelompok agama lokal nusantara sama-sama memiliki pijakan rasional yang kuat. Namun yang cukup disayangkan diskusi tentang tata kelola dan apa tujuan antara keduanya belum cukup terekplorasi dan mendapat poris yang memadai. Laporan-laporan lembaga HAM baik yang dibiayai negara maupun swadaya tentang kelompok agama lokal, masih didominasi oleh deratan inventarisasi cerita duka dibanding pemikiran bernas pengelolaan keberagaman itu sendiri.
Hal lain yang juga menjadi keprihatinan, banyak penghayat atau penganut agama lokal yang belum siap mengosongkan kolom agama pada kartu identituas penduduk (KTP) atau catatan administrasi lainnya. Tentunya juga tidak adil menuduh mereka bukan penghayat yang konsisten. Karena keadaan yang mendesak membuat mereka harus bersembunyi di balik logo agama-agama yang diakui negara.
Demikian halnya juga kurang bijak memaksa mereka harus memilih salah satu dari agama-agama yang diresmikan negara (official religion). Dilema itulah yang menghimpit komunitas agama lokal yang menuntut sesegera mungkin dicarikan jalan keluarnya.
Tawaran Jalan Keluar
Sepertinya hanya ada di Indonesia pengelolaan keberagaman utamanya agama yang dilakukan secara ambigu yang terkesan “dibisniskan”. Misalnya Pendidikan diurus oleh dua kementerian. Kemendibud dan Kemenag, Pernikahan dicatat oleh dua kementerian yakni Kemendagri (cq. Disdukcapil) dan Kemenag (cq, KUA). Dan yang lebih tidak sehat, urusan keyakinan yang dianggap paling asasi itu juga harus diurus oleh banyak kementerian yakni; Kemenag, Kemendagri, Kemendibud, Kepolisian, Kejaksaan yang sekaligus diintai oleh lembaga “watchdog” BAKORPAKEM.
Di tengah kebuntuan itu, saya mengusulkan penyederhanaan administrasi negara bidang agama dan untuk tujuan penghematan anggaran kementerian. Beberapa tawaran: Pertama, jika memang pada akhirnya negara akan mengakui agama-agama selain enam agama import resmi karena tuntutan zaman dan konstitusi dengan tambahan Baha’i, Yahudi dan Sikh, seharusnya agama-agama leluhur nusantara menjadi salah satu agama setara dengan agama “diakui”. Adapun penyebutannya dikembalikan kepada “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa” sedangkan kelompok agama lokal lainnya, diantaranya Kaharingan, Sunda Wiwitan, Sapto Darmo dan lainnya itu adalah bagian dari Kepercayaan Kepada Tuhan YME.
Kedua, konsekuensi dari dari penambahan satu agama “Kepercayaan Kepada Tuhan YME” yang menjadi payung agama-agama lokal nusantara, seperti halnya Islam menjadi agama payung dari sekte-sekte dan ormas-ormasnya. Agama dan “Kepercayaan” menjadi satu atap di bawah Kementerian Agama dengan asumsi Kementerian Agama masih dibutuhkan.
Ketiga, Dengan dua tawaran di atas, secara otomatis urusan agama dan kepercayaan sebagaimana nomenklatur konstitusi hanya akan menjadi urusan Kementerian Agama. Maka restrukturisasi Kementerian Agama menjadi kemutlakan. Jika selama ini Kementerian Agama terbagi-bagi pada sub kedirjenan, sesuai agama-agama yang diakui, ke depan kedirjenan akan berkerja berdasarkan fungsi. Antara lain: Dirijen Kerukunan Antar Umat Beragama dan Kepercayaan, Dirjen sarana dan prasarana peribadahan, Dirjen pencatatan perkawinan dan perceraian, Dirjen pendidikan Agama dan Kepercayaan (tapi sebaiknya pendidikan menjadi domain Kemendikbud). Dirjen Kunjungan Tanah Suci. Dengan demikian Kota Suci Makah, Yarussalem akan setara “sucinya” dengan Sungai Gangga, Candi Borobudur, Candi Perambanan, yang bisa dikelola sebagai “obyek bisnis yang suci (the Sacred)”, karena dilihat dari segi apapun urusan kunjungan tanah suci lebih sebagai “Religion and Tourism”.
Penulis adalah Kepala Litbang ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika)
Editor : Trisno S Sutanto
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...