HUT ke-71 Proklamasi: Ahmadiyah dan Kemerdekaan yang Terampas
Setelah 71 tahun merdeka, banyak kelompok-kelompok masyarakat Indonesia yang masih mengalami perlakuan diskriminatif. Ini pekerjaan rumah yang masih harus dilakukan.
SATUHARAPAN.COM - Setelah 71 tahun Indonesia merdeka, masih pantaskah kita bertanya ulang: sudahkah semua warga Indonesia merasakan kemerdekaannya? Apakah negara yang dideklarasikan oleh Sukarno-Hatta ini sudah berdiri di atas semua golongan dan memperlakukan semua warganya secata setara?
Mari kita tengok satu komunitas di antara sekian kelompok lain yang masih tersisih di negeri ini, setelah kata merdeka itu menggema selama 71 tahun. Kelompok beranggotakan lebih dari dari 300.000 orang ini bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
JAI ini sudah memiliki penganut di Indonesia sejak negara ini belum dibentuk, yakni sejak tahun 1925. Penganutnya bahkan terlibat dan menjadi bagian dari perjuangan kermerdekaan. Tercatat, WR Soepratman, penulis lagu Indonesia Raya, adalah penganut Ahmadiyah. Juga Olich Solihin dan Tutang Jamaluddin, pahlawan Piala Thomas Indonesia tahun 1958 dan 1964.
Bahkan, dalam konteks mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mencari dukungan dunia Internasional, komunitas ini mendayagunakan seluruh jaringan internasionalnya. Pada tahun 1946 dan 1947, pimpinan tertinggi Jemaat Hmadiyah Internasional misalnya, menyiarkan pernyataan sikap ke berbagai media internasional. Salah satunya dikutip oleh “Kedaoelatan Rakjat” edisi Selasa Legi, tanggal 10 Desember 1947 dengan judul: Memperhebat Penerangan Tentang Repoeblik, Gerakan Ahmadiyah Toeroet Membantoe.
“Selain itoe tercantoem djoega beberapa pidato djang pandjang lebar, mengenai “seroean dan andjoeran kepada pemimpin-pemimpin negara Islam, soepaja mereka dengan serentak menyatakan sikapnya masing-masing oentoek mengakoei berdirinya pemerintahan Repoeblik Indonesia. Hal jang mengharoekan ialah soeatoe perintah oemoem dari Mirza Bashiroeddin Mahmoed Ahmad, pemimpin gerakan Ahmadiyah kepada pengikoet-pengikoetnya di seloeroeh doenia jang djoemlahnya 82 djoeta orang soepaya mereka selama boelan September dan Oktober jang baroe laloe ini, tiap-tiap hari Senin dan Kemis berpoeasa dan memohonkan do’a kepada Allah SWT goena menolong bangsa Indonesia dalam perdjoangannya, memberi semangat hidoep oentoek tetap bersatoe padoe dalam cita-citanya, memberi ilham dan pikiran kepada pemimpinnya goena memadjoekan negaranya menempatkan roe’b (ketakoetan) di dalam hati moesoehnya serta tercapainya sekalian tjita-tjita bangsa Indonesia”.
Ahmadiyah Kini
Komunitas ini mengalami diskriminasi dan persekusi justru belakangan, ketika seharusnya bangsa ini sudah berpikir mengejar ketertinggalan dari kemajuan berpikir manusia-manusia di seberang sana. Ketika orang lain beradu pintar menaklukkan misteri jagad raya yang baru ketemu jawabannya nol koma sekian persennya, justru kita baru merumuskan ulang dan menyempitkan arti identitas untuk kemudian bergerak memusuhi sesama atas dasar kesempitan identitas itu. Ketika orang lain mendayagunakan akalnya untuk upaya menggerus sekat-sekat antar manusia agar bisa berkolaborasi untuk kemajuan peradaban, kita di sini masih disibukkan untuk membuat sekat-sekat baru untuk memisahkan sekelompok manusia dengan kelompok lain, atas nama perbedaan, dan atas nama Tuhan.
Hari ini, puluhan keluarga Jemaat Ahmadiyah Indonesia masih berada di transito, sebuah tempat penampungan sederhana di Lombok. Sudah sekitar 10 tahun mereka berada di sana. Bulan Januari yang lalu, 14 keluarga di Kelurahan Srimenanti, Kabupaten Bangka, juga diusir dari rumah mereka sendiri, secara resmi melalui Surat Edaran Bupati. Bahkan, Bupati Bangka dengan tegas memerintahkan untuk meratakan masjid Ahmadiyah dengan tanah. Bulan Juli yang lalu, Pemkab Sukabumi juga menyegel Masjid Ahmadiyah di Parakansalak. Ini adalah masjid yang dibakar massa pada 8 tahun sebelumnya. Di Manislor, Kuningan, hingga hari ini warga Ahmadiyah juga kehilangan haknya untuk mendapatkan e-KTP seperti warga lainnya. Belum lagi jika diingat sedikit ke belakang, di tahun 2011, tiga warga Ahmadiyah dibantai di Cikeusik, Pandeglang dengan teramat sadis dan tak berperikemanusiaan.
Kasus-kasus di atas hanyalah sebagian. Kasus-kasus tersebut juga hanya permukaan. Konsekuensi ikutannya sangat berkepanjangan. Terlalu banyak daftar hak mereka yang dikebiri: Hak hidup, hak untuk bebas memilih agama dan kepercayaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak untuk memilih tempat tinggal, dan seterusnya.
Di negeri ini, siapapun paham bahwa kita menganut demokrasi, dan konstitusi kita menjamin perlakuan yang setara terhadap setiap warganya. Perlakuan yang berbeda dan diskriminatif terhadap satu warga adalah pelanggaran konstitusi. Kita juga memiliki seperangkat undang-undang yang menjamin perlindungan terhadap warga negara, apapun keyakinannya.
Di negeri ini, siapapun paham bahwa keyakinan seseorang tak bisa dipaksakan dan tak mungkin diadili. Siapapun paham bahwa perbedaan tidak bisa menjadi alat pembenar untuk menghakimi orang lain. Apalagi perbedaan keyakinan.
Pada titik ini, setelah 71 tahun Indonesia merdeka, rasanya justru kita harus bertanya ulang: sudahkah semua warga Indonesia merasakan kemerdekaannya?
Penulis adalah penyair dan aktvis kebhinnekaan
Editor : Trisno S Sutanto
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...