Dipaksa Tidak Menjadi Indonesia
Ribut-ribut tentang status kewarganegaraan Arcandra Tahar dan Gloria Napradja Hamel beberapa waktu lalu membuat kita layak bertanya, apa sih artinya menjadi “warga negara Indonesia”?
SATUHARAPAN.COM - Sebenarnya sejak Presiden Joko Widodo mencopot Arcandra Tahar (AT) sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), solusi hukum dan politis telah tuntas. Demikian pula ketika Gloria Natapradja Hamel (GNH) yang sempat dikeluarkan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Pakisbraka) karena dianggap belum menjadi warganegara Indonesia tapi kemudian dimasukkan kembali atas perintah Jokowi, silang-sengketa opini juga selesai.
Namun, kita akan melihat hal di luar aspek legalistik-formal keimigrasian ini. Ada hal yang penting direfleksikan, siapakah yang patut disebut Indonesia? Tentu dengan pertanyaan ini jawaban yang diperlukan bukan bersifat permukaan. Perlu sebuah pandangan melampaui solusi plastis-formalistis-birokratis untuk memahami siapa yang pantas disebut warga dan bangsa Indonesia.
Paspor dan KTP tidak selalu menjadi penunjuk tepat untuk menjawab kewarganegaraan seseorang secara etis dan substansial. Ada afinitas penting, yaitu bagaimana Indonesia itu diimajinasikan dan melahirkan impuls dan reaksi positif oleh mereka yang mengaku warganegara Indonesia yang secara formil 71 tahun lalu itu.
Garis Lurus Pengorbanan
Serta-merta publik melihat seolah-olah Jokowi bersalah karena mengangkat AT dan lupa melihat spektrum lebih luas kenapa pengangkatan itu dilakukan. Presiden tentu tidak lugu-lugu amat ketika memutuskan. Sayangnya pilihan presiden kalah oleh opini kerawanan negara dan isu konspirasi jahat terkait pengangkatan itu.
Situasi objektifnya ialah Jokowi memerlukan seorang menteri yang tangguh dan bisa menyelesaikan kusut-masai di pertambangan dan migas. Ia perlu menteri yang sigap menghela setiap uap panas seperti mafia kasus Petral dan Mohammad Riza Chalid di era lalu dan bisa jadi parasitnya masih hidup. Jokowi, tentu saja bersama timnya, mencari manusia Indonesia cerdas yang bisa menyelesaikan problem itu secara teknokratis dan tidak melulu menjadi bulir politik. Pilihan terhadap AT adalah seleksi yang pasti sudah bertingkat.
AT, putera Pariaman, Sumatera Barat, presiden direktur Petroneering, sebuah perusahaan migas di Amerika Serikat telah cukup waktu malang-melintang di dunia pertambangan. Ia memiliki sejumlah paten yang digunakan beberapa negara termasuk AS dan Tiongkok. Sedikit orang tahu, AT lah yang berada dibalik keberhasilan Indonesia mendapatkan kembali blok Masela, masa depan migas kita. Ia menunjukkan solusi tepat yaitu pipanisasi dari darat (onshore), berkebalikan solusi menteri sebelumnya yaitu membangun kilang terapung (offshore).
Di titik inilah signifikansi pengangkatannya dinilai. Orang seharusnya melihat “ketidakwarasan” AT meninggalkan kemewahan di AS, dengan gaji dan tunjangan miliaran rupiah, melepaskan kewarganegaraan AS-nya untuk mengabdi sebagai menteri bergaji sekitar Rp. 26 juta sebulan. Sebagian besar teknokrat tak akan memilih “neraka” Indonesia dan meninggalkan “surga” mereka di luar negeri.
Demikian pula dengan GNH, anak Depok dari ayah bule dan ibu Indonesia. Ia memilih berpeluh dan berprestasi untuk tembus sebagai Paskibraka Istana. Tiba-tiba dengan alasan tidak begitu jelas didramatisasi ia bukan warganegara Indonesia. Padahal jika dibaca surat GHN kepada Jokowi, kejujurannya penting dimengerti oleh kaum “nasionalis kertas”: “Saya tidak pernah memilih kewarganegaraan Perancis, karena darah dan nafas Saya untuk Indonesia tercinta”.
Apalagi jika UU No. 12 tahun 2006 tentang Warganegara dibaca dengan jeli, GHN jelas potensial menjadi warganegara Indonesia meskipun berayah warganegara asing (pasal 4 ayat d). Aneh, untuk kasus kecil ini ada pakar hukum ikut memperkeruh suasana, daripada memikirkan solusi bijaksana mempertimbangkan psikologi seorang anak.
Bisa dibayangkan betapa beratnya seorang insinyur jenius (bukan politikus) dan seorang anak perempuan berumur 16 tahun, diproblematisasi status kewarganegaraannya oleh elite politik dan kaum demagogis tanpa ampun. Mereka ditolak menjadi Indonesia ketika banyak orang lain secara formal berpaspor dan ber-KTP Indonesia tapi tidak peduli dengan ke-Indonesia-annya; meneruskan kebiasaan korup, culas, hedonis, egois, dan sektarianis. AT dan GNH ditolak menjadi Indonesia tepat ketika berada di garis lurus pengorbanan dan pengabdian.
Kita lupa, bahwa di tengah upaya mereka melawan derita menjadi Indonesia, ada sikap yang menyala di dada. Mengutip ungkapan populer Ernest Renan, ada “hasrat menggelegak untuk menyatu dan hidup bersama” (le désir de vivre ensemble), sebagai Indonesia. Mereka merasa perlu berguna menjadi warga bangsa Indonesia dibandingkan identitas lain yang lebih menggoda: ekonomi, prestise politis, dan fasilitas. Hasrat menyatu bak lidi menjadi sapu dengan seluruh warganegara Indonesia, bukan sekedar berpaspor dan ber-KTP WNI.
Pribumi vs Diaspora?
Di samping itu ada wacana yang keliru memahami orang Indonesia asli dari aspek perundang-undangan dengan mengeksploitasi konsep Ius Sanguinis dan warganegara tunggal. Konsep itu jika dipahami secara konservatif akan menjadi absurd. Konsep klasik pribumi, termasuk kini telah muncul Partai Pribumi, semakin tidak memiliki sandaran etis, humanis, apalagi antropologis ketika dipertemukan dengan realitas diaspora Indonesia.
Diaspora adalah realitas kosmologis hasil dari interaksi orang dan keturunan Indonesia dengan dunia tanpa batas. Faktanya, banyak diaspora Indonesia masih rindu kampung halaman, ingin tua dan mati di Indonesia, tapi terhalang. Para eksil kasus 1965 seperti Agam Wispi, Ibrahim Isa, Dewa Soeradjana dan ribuan lainnya adalah orang yang terendam hati pada Indonesia tapi terpalang raga sebagai pengusik bangsa. Sebagian lainnya tak pernah dihargai di dalam negeri sehingga dipinang asing dan berjaya di negeri rantau.
Lagi pula, dalam konteks Indonesia kontemporer siapakah yang layak disebut pribumi? Secara empiris hampir tidak ada nenek-moyang Indonesia yang secara sosio-biologis tidak pernah bertemu dengan ras dan etnis utara, kecuali suku asli seperti Suku Anak Dalam, Suku Badui, Suku Anak Laut, Suku Mentawai, dll, yang bahkan perlakuan kita kepada mereka pun tidak lebih manusiawi. Apakah populi Melayu, Proto Melayu, Austronesia, Melanesia itu dianggap Indonesia inti? Agak munafik jika jawabannya ya, karena lakab kita terhadap Papua saja tidak lebih sebagai separatis, orang berkulit hitam dan berambut keriting, dan masih tinggal dengan tradisi berburu dan meramu.
Detik ini, di tengah kegalauan memaksa orang seperti TA dan GNH untuk tidak menjadi warganegara Indonesia, dipertanyakan sikap murni kita sendiri: terpujikah menyudutkan seseorang hanya karena paspor dan legalitas keimigrasian, padahal motif politik dan iri-dengki lebih mengemuka di dalam alasan?
Pada konteks terkini, ketika penduduk negara-bangsa telah berubah dan mengalami transisi, globalisasi, dan migrasi, perlu sebuah representasi baru memahami Indonesia. Representasi itu adalah batas kultural untuk mau terikat karena memiliki perasaan, kesenangan, dan keprihatinan yang sama untuk menjadi satu bersama Indonesia.
Kewargangeraan baru itu harus menolak teror unheimlich – istilah Homi K. Bhaba, kenyamanan untuk mengasingkan orang lain atas nama nasionalisme dan merebut makna distorsi itu sendirian. Nasionalisme seperti itu hanya racun birokrasi dan kebutaan bagi kualitas berbangsa dan bernegara. Tak seharusnya kita menjadi egois dalam berbangsa dan berwarganegara serta membenci orang lain mencintai Indonesia.
Penulis adalah Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh dan Dewan Pakar Dewan Kesenian Aceh (DKA).
Editor : Trisno S Sutanto
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...