SAINS
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja
14:24 WIB | Senin, 03 Februari 2014
Hutan Kemenyan di Padumaan Sumut Terancam Dibabat
HUMBAHAS, SATUHARAPAN.COM - Penduduk desa Pandumaan Kabupaten Humbahas Sumatera Utara selama ini bertani dan melestarikan pohon kemenyan dari kawasan hutan di daerah mereka sejak 300 tahun lalu, merupakan tradisi dari generasi ke generasi. Kemenyan Pandumaan dipercaya adalah kemenyan yang dipersembahkan kepada bayi Yesus.
Berasal dari getah jenis pohon Styrax, kemenyan (benzoin) telah digunakan selama ribuan tahun untuk bahan pembuat parfum dan obat-obatan, para pedagang setempat biasa menyebutnya resin.
Masyarakat di Padumaan percaya bahwa kemenyan dari hutan mereka adalah yang dipersembahkan pada bayi Yesus oleh orang Majus dari Timur seperti tercatat dalam Alkitab.
"Ini bukan hanya sebuah cerita, ini adalah apa yang kita percayai dan lestarikan pada beberapa generasi," kata Sinambela, petani kemenyan.
Selain pohon tersebut dipercayai sakral, manfaat ekonomi juga selama ini sudah menjadikan penduduk desa mampu menyekolahkan anaknya ke universitas, menghidupi keluarga mereka, membangun rumah dan bersosialisasi dengan tetangga.
Tapi kehidupan dan matapencarian mereka sekarang di bawah ancaman.
Hak Lingkungan dan Petani
Sebuah perusahaan yang didukung pemerintah pusat sedang merencanakan mengurangi sekitar 5.000 hektar luas hutan kemenyan yang akan diganti dengan perkebunan untuk bahan baku kertas. Ini berarti petani di Padumaan berada dalam bahaya kehilangan satu-satunya sumber pendapatan.
Dengan mengantongi izin pengelolaan hutan dari Departemen Kehutanan, perusahaan memiliki kekuatan hukum untuk mengubah hutan liar menjadi hutan komersial, yang akan memungkinkan perusahaan lainnya dapat mengeksploitasi apa yang telah menjadi aset masyarakat selama beberapa generasi.
Masyarakat Padumaan menolak perubahan ini, dan mereka telah melancarkan beberapa protes terhadap perusahaan. Gereja-gereja anggota Lutheran World Federation (LWF) di Indonesia seperti Gereja Kristen Protestan Batak (HKBP), Gereja Kristen Protestan di Indonesia (GKPI) dan Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) telah menyatakan keprihatinan atas nasib petani dan kehancuran lingkungan yang akan dihasilkan dari perusakan hutan leluhur.
Bersama dengan jemaat HKBP di Pandumaan dan Komite Nasional LWF, pemimpin gereja mengajak menentang eksploitasi yang direncanakan oleh pemerintah di hutan kemenyan, dengan alasan bahwa langkah tersebut akan merugikan orang-orang yang bergantung pada ekosistemnya.
Pada bulan Februari 2013, sebanyak 16 orang petani ditahan polisi setelah bentrok dengan perusahaan. Mereka dibebaskan sebulan kemudian, setelah ada intervensi dari para pemimpin gereja Lutheran.
Berusaha untuk membebaskan petani pada saat itu, Patut Sipahutar, pendeta GKPI mengatakan kepada polisi bahwa penduduk desa, yang termasuk warga gereja Lutheran dan anggota gereja lainnya, adalah bukan penjahat, mereka hanya melindungi hutan sehingga mereka bisa bertahan hidup.
"Mereka menemukan ketidakadilan di tanah mereka oleh perusahaan yang menebang hutan mereka, menciptakan bahaya dan pelanggaran hak asasi manusia, dan menyangkal hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka," kata Sipahutar.
Pemuka masyarakat dan gereja-gereja juga mengambil tindakan terhadap degradasi lingkungan yang disebabkan oleh penebangan hutan dengan mendesak revisi undang-undang kehutanan.
Pada bulan Mei 2013 undang-undang hutan adat direvisi yang pada akhirnya mengakui bahwa kelompok-kelompok masyarakat memiliki hak untuk mengelola hutan adat mereka. Pohon kemenyan sekarang dilindungi secara hukum.
Namun gereja-gereja dan organisasi masyarakat masih meminta pemerintah daerah untuk menegakkan aturan baru tersebut.
"Hampir mustahil untuk hidup tanpa pohon kemenyan. Kami memberi makan keluarga kami dan menyekolahkan anak-anak hanya karena pohon-pohon kemenyan," kata seorang petani.
Perusahaan Pertambangan dan Perkebunan
Menurut organisasi non-pemerintah KSPPM (Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Rakyat) yang mengadvokasi hak-hak rakyat setempat, seorang petani desa bisa panen hingga 500 kilo resin setiap tahunnya, sebelum upaya saat ini untuk mengurangi hutan alam.
Resin kelas satu dijual Rp. 120.000 per kilo, sehingga petani bisa memperoleh hingga 60 juta rupiah dalam setahun. Belum ditambah pendapatan dari hasil hutan lainnya seperti rotan, madu dan buah-buahan liar, dan tanaman pertanian termasuk kopi, beras dan berbagai umbi-umbian - bagian dari sebuah ekosistem yang kini terancam oleh deforestasi.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) memperkirakan bahwa pada tahun 2013 negara telah kehilangan 40 juta hektar hutan - terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua - kawasan hutan total sekitar 140 juta hektar. Ini menunjukkan bahwa perusahaan pertambangan dan perkebunan telah menjadi penyebab utama dari kerusakan lingkungan .
12 gereja anggota LWF di Indonesia terdiri lebih dari enam juta orang Kristen, terutama yang berada di provinsi Sumatera Utara. (LWF)
BERITA TERKAIT
KABAR TERBARU
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...