Hutan Mangrove di Indonesia Terancam Konversi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Di tengah gencarnya pemerintah mengkampanyekan penyelamatan hutan mangrove, seperti memasang baliho, iklan di media elektronik dan cetak, hingga mengundang olahragawan dan artis terkenal menjadi duta mangrove Indonesia. Namun ironis, kerusakan dan kehancuran hutan mangrove hingga saat ini masih terus terjadi. Lebih miris lagi, inisiatif nelayan untuk merehabilitasi hutan mangrove seringkali mendapat tentangan baik dari pemerintah maupun perusahaan akibat adanya kebijakan yang tumpang tindih. Demikian siaran pers bersama Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Serdang Bedagai, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Sumatera, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Nusa Tenggara, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada hari Sabtu (27/7).
Mangrove Indonesia merujuk data The World's Mangroves 1980-2005 (FAO 2007) merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49 persen. Tetapi dari segi luasan kawasan, kondisinya semakin menurun baik secara kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha.
Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan hutan mangrove di Sumatera Utara seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86 persen berada dalam kondisi rusak.
Pusat Data dan Informasi KIARA di bulan Juli 2013 mencatat adanya empat faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung dan Langkat Sumatera Utara. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur), Padang (Sumatera Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Manado (Sulawesi Utara). Ketiga, pencemaran lingkungan. Keempat, konversi hutan mangrove untuk perluasan kebun kelapa sawit.
Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68 persen dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006. Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera pada tahun 2010 menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35 ribu ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10 ribu ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional.
Inisiatif nelayan untuk terlibat aktif dalam kegiatan penyelamatan hutan mangrove sudah banyak dilakukan akan tetapi belum mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Dalam kasus pengembalian hutan mangrove di Langkat Sumatera Utara seluas 1.200 ha yang sebelumnya dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, nelayan harus berkonflik dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Padahal jelas-jelas PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT Charoen Phokpand, telah melakukan alih fungsi lahan hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit.
Intimidasi dan teror terhadap nelayan yang dilakukan lima perusahaan itu hingga kini masih terus terjadi. Terakhir pada tanggal 9 Juli 2013 lalu, nelayan Langkat mendapati sedikitnya 200 ribu bibit mangrove dari 700 ribu bibit yang dipersiapkan untuk melengkapi penanaman hutang mangrove di lahan seluas 1.200 ha tersebut mati karena disiram bahan kimia oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Indikasi kuat dari informasi lapangan didapati bahwa yang melakukan tindakan pengrusakan bibit tersebut merupakan orang-orang yang pro terhadap konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Aktivitas konversi hutan mangrove hingga saat ini masih banyak terjadi, baik di Sumatera maupun di kawasan timur Indonesia.
Bersamaan dengan peringatan Hari Mangrove Sedunia 2013, Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung Serdang Bedagai, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Sumatera, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Nusa Tenggara, dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak kepada pemerintah untuk segera melakukan pencabutan terhadap perizinan usaha dan atau proyek pembangunan seperti kebun kelapa sawit, pertambakan udang, reklamasi pantai, dan sebagainya yang menyebabkan hilangnya hutan mangrove. Pemerintah juga harus lebih memprioritaskan dukungannya terhadap inisiatif masyarakat nelayan dalam merehabilitasi mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, dan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, ketimbang sibuk melakukan kegiatan seremonial dalam menyikapi makin maraknya praktek pengrusakan hutan mangrove di Indonesia.
Editor : Yan Chrisna
Israel Pada Prinsipnya Setuju Gencatan Senjata dengan Hizbul...
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM-Siaran media Kan melaporkan bahwa Israel pada prinsipnya telah menyetujui...