I Have A Dream, Pidato Martin Luther King Yang Disampaikan Secara Spontan
JENEWA, SATUHARAPAN.COM - Pidato Martin Luther King Jr, 50 tahun lalu (28 Agustus 1963) di Washington DC, Amerika Serikat yang dikenal dengan title “I Have A Dream” merupakan pidato yang benar-benar disampaikan secara spontan. Naskah yang dirancang untuk berbicara tentang 100 tahun proklamasi emansipasi (pembebasan) disingkirkan dan diubah menjadi pidato tentang “mimpi” Amerika baru.
Clarence B Jones adalah pembantu utama Dr. Martin Luther King Jr yang menyampaikan pidato “I Have A Dream”, dan dia tahu banyak tentang proses penyusunan pidato itu. Dalam sebuah acara peringatan di Jenewa, Swiss, Senin (26/8) lalu dia menceritakan bagaimana pidato itu berubah, dan komentarnya tentang gerakan anti kekerasan.
Jones pergi ke Jenewa untuk berbagai pengalaman tentang peristiwa yang menginspirasi dunia tentang gerakan anti diskriminasi dan hak asasi manusia itu. Dan hari berikutnya dia kembali Washionton DC untuk bertemu Presiden Barrack Obama sebagai sesama mantan aktivis gerakan hak-hak sipil.
Jones berbicara dalam seminar yang disponsori oleh pemerintah Jenewa dan institut untuk studi pembangunan internasional. Dia adalah penulis buku “Behind the Dream: The Making of the Speech that Transformed America" (Di Balik Mimpi: Membuat Pidato Yang Mengubah Amerika). Dia sekarang menjadi profesor tamu di University of San Francisco.
Jones diperkenalkan oleh Duta Besar Betty E. King, kepala misi lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa di Jenewa. Dia mengatakan bahwa aksi massa yang berbaris pada Maret 1963 adalah demonstrasi terbesar dalam sejarah Amerika Serikat yang dia sebut sebagai Pekerjaan dan Kebebasan.
Katakan Tentang Mimpi
Pidato “I Have A Dream” muncul secara spontan, mengesampingkan rancangan pidato yang dipersiapkan, kata Jones. Dia adalah pembantu utama King dalam menyusun pidato. Ketika itu, dia berdiri 15 memeter di belakang saat King menyampaikan pidatonya.
Jones menjelaskan bahwa dia telah menulis sebuah naskah untuk King yang didasarkan pada percakapan di mana mereka merenungkan apa yang mungkin dimasukkan dalam sebuah pidato pada peringatan 100 tahun Proklamasi Emansipasi. Hal itu adalah untuk membahas penandatanganan deklarasi yang bersejarah pada tahun 1863, di mana Presiden Abraham Lincoln memulai proses hukum yang akan menandai upaya mengakhiri perbudakan di Amerika Serikat.
"Tujuh paragraph pertama berasal dari teks yang saya tulis," kata Jones tentang pidato itu. King menambah materi tidak pada bagian depan. Kemudian ketika penyanyi gospel Afro-Amerika, Mahalia Jackson, berdiri di dekat speaker, dia berseru, "Katakan pada mereka tentang mimpi, Martin!"
Kemudian King menyisihkan naskah itu. Jones mengatakan, "Seluruh bahasa tubuhnya berubah, dan menjadi sosok seorang pendeta. Melihat perubahan padanya, saya berkata kepada orang di samping saya, siapa pun itu, orang-orang tidak tahu, tapi mereka siap untuk pergi ke gereja."
Jones banyak mendengarkan ceramah King pada banyak kesempatan lainnya. Tapi tidak pernah, katanya, seperti pada pidato tersebut. Dia menyebut pidato inspirasi King hari itu sebagai "menangkap petir di dalam botol."
Pidato itu berubah dari mengungkapkan cita-cita bersejarah tentang dokumen dasar deklarasi Amerika, menjadi semacam nubuat Alkitab di mana “keadilan akan datang bergulung-gulung bagaikan air.” Dia meramalkan hari ketika pria dan wanita, dan anak-anak, akan "dihakimi bukan berdasarkan warna kulit mereka, tetapi oleh tindakan dan karakter mereka."
“Dan dia menyimpulkan dengan kata-kata dari sebuah pujian, Akhirnya bebas, bebas! Terima kasih Tuhan Yang Maha Esa, kami akhirnya bebas! " kata Jones.
Non Kekerasan
Clarence B Jones berkomentar tentang King. "Martin Luther King adalah ahli taktik politik yang brilian," kata dia. King menggunakan pidato dan demonstrasi untuk memenangkan mayoritas orang Amerika pada keyakinan tentang perlunya perubahan yang mendasar.
Jones menegaskan bahwa "Martin Luther King adalah kompas moral negara kami", yang menunjukkan jalan menuju pembebasan dari masyarakat rasial. Dalam dua tahun setelah pawai di Washington, Undang-undang tentang Hak Sipil tahun 1964 dan Undang-undang Hak Asasi Manusia pada tahun 1965 disahkan dan ditandatangani.
Tapi apa pelajaran pengabdian King kepada gerakan non-kekerasan sebagai gaya hidup? Bangsa dan dunia tampaknya tidak mengindahkan pelajaran itu, kata dia. "Kita berkumpul di sini pada ulang tahun ke-50," kata Jones, "King akan mengingatkan kita tentang kekerasan bukanlah jawaban atas kejahatan yang kita hadapi."
"Perlawanan tanpa kekerasan telah menjadi strategis unggul" ketimbang pendekatan dengan kekerasan, kata Jones. Kekerasan dapat meletakkan musuh sementara waktu, tetapi juga melahirkan kebencian, pemisahan, dan permusuhan terbuka, sampai pecah menjadi lebih banyak kekerasan.
"Kekerasan seperti lava cair di bawah masyarakat kita, menunggu untuk meletus," dia memperingatkan. "Kita perlu mencegahnya," lanjutnya. Martin Luther King belajar ajaran dan teladan dari Mahatma K Gandhi bahwa kunci untuk rekonsiliasi adalah pengampunan.
"Orang-orang saat ini harus belajar dari masa lalu," kata dia. “Namun kita juga perlu melihat ke depan di mana pelajaran tentang kebenaran telah dipelajari,” kata dia menegaskan. (oikoumene.org)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...