Ibadah Itu (Juga) Kepentingan Negara
SATUHARAPAN. COM – Masalah izin dan larangan membangun rumah ibadah menjadi masalah yang meluas dan makin serius belakangan ini. Setelah kasus penghancuran gereja di Kabupaten Singkil, Provinsi Aceh, kemudian muncul berita pelarangan membangun mesjid di Manokwari, Papua Barat, dan Bitung, Sulawesi Utara. Dan belakangan muncul masalah bangunan padepokan milik penghayat kepercayaan, Sapta Darma di Jawa Tengah
Sebelum kasus-kasus itu, banyak kasus muncul, termasuk pengrusakan gereja HKBP di Bekasi, penolakan pembangunan gereja Katolik di Bekasi, GKI Yasmin di Bogor, gereja Sang Timur di Tangerang, serta banyak larangan ibadah di rumah-rumah atau bangunan lain.
Masalah ini makin mencemaskan, karena ada aparat penegak hukum, pemerintah dan kelompok tertentu sering menggunakan kata ‘’ibadah’’ secara sempit. Kata itu dikaitkan dengan kegiatan yang hanya boleh dilakukan di ‘’rumah ibadah’’ yang diartikan sebagai bangunan yang peruntukannya hanya untuk ibadah.
Hal ini digunakan untuk melarang ibadah yang dilakukan di luar rumah ibadah. Ibadah oleh kelompok penganut agama yang dilakukan di rumah dan di bangunan yang izinnya bukan untuk ibadah juga dicap sebagai tindakan ilegal, bahkan melawan hukum.
Menyempitkan Makna Ibadah
Pemaknaan sempit seperti ini sebenarnya menyempitkan makna ibadah dan merendahkan agama. Sebab, semua agama dan kelompok keyakinan, memaknai ibadah bukan sebatas kegiatan yang sifatnya ritual, melainkan juga menyangkut tindakan baik, etis dan bermoral menurut iman mereka.
BACA JUGA: |
Bahkan ibadah yang bersifat ritual pun tidak sebatas kegiatan yang sifatnya individual, melainkan juga ritual yang sifatnya bersama (berjemaah, persekutuan). Oleh karena itu, memposisikan ibadah yang legal hanya jika dilakukan di ‘’rumah ibadah’’ adalah pandangan yang menyempitkan makna ibadah, dan bahkan berbahaya bagi keyakinan bersangkutan.
Agama mengajurkan ibadah yang diwujudkan dengan hidup bermoral dan baik di mana pun dan kapan pun, selain aktivitas ritual. Maka, membatasi ibadah hanya boleh dilakukan di ‘’rumah ibadah’’ merupakan cara berfikir yang naif. Bahkan jika larangan-larangan seperti itu hanya sebatas pada aktivitas ritual dan bersifat bersama (berjamaah) juga tetap naif, karena dalam rumah tangga pun ada aktivitas ibadah bersama yang dianjurkan oleh agama-agama.
Oleh karena itu, bagi kelompok manapun dan penganut agama apapun, yang terlibat dalam penerapan larangan yang naif ini, pada gilirannya juga akan menghadapi masalah paradoksal dalam keyakinannya sendiri. Sebab, pola pikir demikian tidak bisa menghindari praktik diskriminasi yang memalukan. Kecuali, kemudian membiasakan diri dalam kehidupan yang hipokrit.
Kepentingan Negara
Perilaku sebagian penegak hukum dan pemerintah yang justru menjadi alat pelarangan ibadah dan pembangunan rumah ibadah mencerminkan pikiran sempit ini, dan seolah-olah ibadah hanya kepentingan warga, dan bukan kepentingan negara.
Negara semestinya berkepentingan agar seluruh warganya beribadah dengan baik, kecuali negara menilai bahwa praktik iman agama yang dianut itu memusuhi negara. Sebab, ibadah sebagai mempraktikan iman dengan perilaku yang baik, etis dan bermoral adalah juga kepentingan negara. Sebab, modal spiritual adalah modal penting bagi negara untuk eksis dan dalam membangun kesejahteraan.
Ibadah dalam pengertian ritual, individu maupun berjamaah, juga menjadi kepentingan negara, karena itu adalah wadah pembinaan iman dan persekutuan. Negara justru akan mengalami kerugian besar dalam modal spiritual, jika banyak warganya yang tidak mendapatkan pembinaan iman dengan baik. Jadi, mengapa ‘’negara’’ menjadi resisten pada kegiatan ibadah warganya?
Maraknya korupsi, kejahatan, perilaku imoral dan tidak beretika, bahkan rendahnya ketataan hukum dan ketertiban di masyarakat, sudah terlalu sering disebut terkait miskinnya iman. Ini kemungkinan besar adalah akibat masalah yang hakiki tentang ibadah diabaikan dan yang dipersoalkan justru hanya bangunan fisik dan dikaitkan makan ibadah secara sempit.
Jika kita tidak bisa melihat masalah ini secara jernih tentang hal yang esensial dalam ibadah dan kepentingan negara, kita akan dirundung masalah yang tidak berujung. Keterlibatan kepentingan sempit yang bermain dengan menyempitkan makna ibadah justru yang akan merusak kesucian iman dan agama, serta merusak negara, dan hanya menanam konflik yang tidak jelas tujuannya.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...