ICW Akan Sampaikan Petisi Tolak Revisi UU KPK ke DPR
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi menjadwalkan menyerahkan petisi penolakan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Gedung Parlemen Senayan, pada hari Selasa (9/2) ini.
Koordinator ICW, Adnan Topan Husodo, mengatakan petisi penolakan revisi UU KPK bakal diserahkan saat koalisi mengadakan audiensi dengan Ketua Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
“Audiensi ini bertujuan untuk menyampaikan pandangan Koalisi terhadap revisi UU KPK sebagai bahan masukan bagi Badan Legislasi dan penyerahan Petisi Online Penolakan Revisi UU KPK yang saat ini ditandatangani lebih dari 55.000 orang,” kata Adnan seperti dikutip Antara, hari Senin (8/2).
Sebelumnya, KPK menilai draf revisi UU KPK akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Setelah meneliti draf revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR tersebut, pemimpin KPK melihat ada sejumlah aturan yang mengarah pada pelemahan.
"Saya bisa pastikan kepada teman-teman semua sebagian besar dari draf ini adalah pelemahan, lebih dari 90 persen bukan penguatan terhadap KPK," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, hari Rabu (3/2).
Misalnya, dia mencotohkan, soal kewenangan Dewan Pengawas yaitu penyadapan harus minta izin Dewan Pengawas. Kemudian soal penyadapan yang diatur pada Pasal 12A, yang menyatakan penyadapan dapat dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis Dewan Pengawas (ayat 1). Pemimpin KPK meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan (ayat 2), dan penyadapan dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama (ayat 3).
Butir lain yang disoroti, kata Laode, adalah mengenai kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 25 miliar dan bila di bawah jumlah tersebut wajib diserahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan Agung (pasal 11 ayat 1 dan 2).
Persoalan lain, dia lanjut mencotohkan, adalah pembentukan Dewan Pengawas yang diatur dalam Pasal 37 yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa ada dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK, melakukan evaluasi kinerja pimpinan KPK secara berkala dalam 1 tahun dan menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK atau pelanggaran tertentu dalam UU.
Kemudian, masalah lainnya, katanya, adalah soal KPK yang disebutkan berwenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan dalam perkara Tipikor (pasal 40). Terakhir adalah mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK (pada Pasal 43 dan 45) yang harus berasal dari Kepolisian atau Kejaksaan Agung yang diperbantukan.
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...