ICW: Anggota DPR RI Jangan Selewengkan Mandat Rakyat!
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan pandangan mengenai semakin maraknya Anggota DPR RI yang tidak lagi takut, malu, dan segan melakukan tindak korupsi. “Kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga yang mewakili rakyat sudah seharusnya digunakan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, kewenangan yang dimiliki oleh DPR seringkali disalahgunakan dan terjadi konflik kepentingan dari anggota DPR untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompoknya,” ungkap Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Siti Juliantari.
Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dilansir tanggal 1 Oktober 2015 menyebutkan konflik kepentingan berpotensi terjadi pada DPR periode 2014-2019. Dari 560 anggota DPR, sebanyak 293 orang (52 persen) memiliki latar belakang pengusaha.
“Hal ini bukan berarti seorang pengusaha tidak patut untuk menjadi anggota DPR, tetapi yang perlu dicermati adalah sejauh mana anggota DPR dapat bebas dari kepentingan pribadinya ketika menjalankan kewenangan yang diembannya,” ujar Siti.
Berdasarkan kajian ICW, aktivitas bisnis anggota DPR memiliki potensi konflik kepentingan dengan kewenangan yang mereka miliki. Setidaknya ada tiga komisi DPR yang rawan potensi konflik kepentingan dengan aktivitas bisnis anggotanya. Ketiganya adalah komisi lima yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, komisi enam yang membidangi perdagangan, perindustrian dan investasi, dan komisi tujuh yang membidangi energi sumber daya mineral dan lingkungan hidup.
Bentuk konflik kepentingan di Parlemen paling tidak dapat dilihat dari tiga kewenangan yang dimiliki oleh DPR, yaitu penganggaran, penyusunan undang–undang, dan pengawasan.
“Setiap kewenangan ini berpotensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Misalnya saja dalam masa pembahasan anggaran, anggota DPR mengarahkan pembahasan anggaran agar menguntungkan dirinya atau ketika penyusunan undang–undang yang didahulukan dan disahkan adalah aturan yang lebih menguntungkan seorang anggota DPR ketimbang kemaslahatan rakyat banyak. Bahkan, pengawasan yang dilakukan pun menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan ketika entitas yang diperiksa terkait dengan dirinya, teman maupun keluarganya,” kata Siti.
Menurutnya, terdapat beberapa situasi yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan, diantaranya rangkap jabatan seorang penyelenggara negara baik di lembaga publik maupun swasta, kepemilikan saham disebuah perusahaan, dan afiliasi seorang dengan kelompok lainnya.
Siti memberikan contoh dalam kasus korupsi pengadaan prasarana peningkatan mutu pendidikan yang melibatkan M. Nazaruddi, terlihat bagaimana Nazaruddin sebagai seorang anggota DPR yang juga pemilik perusahaan Permai Group melakukan pelobian untuk mengarahkan anggaran dan pemenang lelang pengadaan proyek pendidikan tersebut.
Kasus ini merupakan contoh bagaimana konflik kepentingan terjadi di parlemen dan berujung pada korupsi.
“Agar masalah konflik kepentingan di parlemen Indonesia dapat diminimalisir dan mencegah lahirnya koruptor baru dikemudian hari, maka langkah–langkah progresif untuk mencegahnya penting dilakukan. Salah satunya adalah melaksanakan Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR yang menegaskan mengenai larangan konflik kepentingan. Pimpinan DPR dan Partai Politik juga harus menegaskan setidaknya larangan rangkap jabatan bagi anggotanya di DPR baik di lembaga negara maupun swasta, dan kewajiban mendeklarasikan seluruh kepentingannya saat akan menjadi anggota DPR. Informasi soal ini juga harus dapat diakses oleh masyarakat luas sehingga masyarakat juga bisa ikut serta mengawasi dan melaporkan apabila seorang anggota DPR diketahui tetap memutuskan suatu persoalan padahal ia memiliki konflik kepentingan,” kata Siti. (antikorupsi.org)
Editor : Bayu Probo
Stray Kids Posisi Pertama Billboard dengan Enam Lagu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Grup idola asal Korea Selatan Stray Kids berhasil menjadi artis pertama d...