ICW: Dugaan 30 M Teman Ahok Jangan Ciutkan Jiwa Volunteer
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Indonesia Corruption Watch (ICW) mengajak para relawan (volunteer) yang mendukung sosok elektoral dalam kontestasinya untuk tidak berkecil hati dengan adanya pemberitaan yang akhir-akhir ini mencuatkan adanya dugaan aliran dana sebesar Rp 30 M (miliar) yang diterima kelompok volunteer Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, “Teman Ahok”, untuk maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.
Uang yang diduga berasal dari pengembang reklamasi yang diberikan kepada “Teman Ahok” tersebut kini tengah dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui surat perintah penyelidikan (Sprindik) dari Ketua KPK, Agus Rahardjo.
“Fenomena kelompok relawan semakin menguat, tak hanya “Teman Ahok”, tapi juga di daerah seperti Jogja Independent (Join). Keberadaan mereka patut diapresiasi, karena memberikan pilihan alternatif bagi publik dalam memiliki pilihan di laga pemilihan umum (pemilu). Semangat relawan jangan diberangus. Kalau ada dugaan kasus Rp 30 miliar ya memang harus diselidiki, tapi jangan sampai menghapus semangat relawan,” kata Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz, hari Jumat (24/6), dalam konferensi pers menyikapi polemik dana relawan di Gedung ICW, Kalibata, Jakarta Timur.
Donal memberikan pandangan bagaimana seharusnya sumber pendanaan dalam kelompok volunteer agar tidak melanggar UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Ia menggarisbawahi bahwa sumber dana pada intinya tidak boleh berasal dari sumber-sumber kejahatan, seperti tindak pidana korupsi dan tindak pencucian uang. “Itu adalah syarat mutlak,” katanya.
Hal itu dikarenakan sekalipun pengaturan mengenai dana kelompok volunteer berada di luar rezim pemilu, tapi apabila melanggar UU TPPU tetap bisa diproses secara pidana.
“UU TPPU secara jelas melarang orang menerima hasil dari kejahatan. Jadi volunteer yang bekerja untuk kepentingan calon kandidat tidak boleh menerima dana dari sumber yang melakukan dua tindak pidana tersebut,” kata dia menambahkan.
Menurutnya, sumber dana yang sah adalah berasal dari iuran volunteer sendiri, atau yang berkonsep penggalangan publik berupa sumbangan kelompok yang setuju dengan gerakan volunteer.
Donal mencontohkan sumber dana yang diterima kelompok volunteer Join adalah berasal dari publik yang menyumbang, karena ada dorongan untuk mengangkat calon pemipin melalui jalur independen di Jogja.
ICW mendukung adanya tahapan pro justitia atau penyelidikan oleh KPK mengenai dugaan aliran dana ke “Teman Ahok”. Hal itu karena informasi Rp 30 miliar tersebut belum terverifikasi. ICW menganggap tugas KPK untuk menelusuri apakah dana tersebut masuk ranah pidana atau tidak agar tidak terjebak pada ‘gosip politik dan hukum’.
“ICW setuju untuk KPK melakukan penyelidikan. Informasi Rp 30 miliar mempunyai dua makna, yakni apakah itu benar ada tindak pidana atau tidak. Kalau terbukti ada pelanggaran tentu menjadi kewenangan KPK untuk melakukan penindakan.
Donal berharap “Teman Ahok” tidak alergi terhadap proses penyelidikan sumber dana mereka oleh KPK, karena belum tentu akan menjadi tindakan pidana. “Bukan sesuatu yang aneh apabila KPK sudah menerbitkan sprindik atas kasus ini, karena merupakan standar biasa KPK dalam mengungkap sebuah peristiwa,” katanya.
Donal meyakini bahwa KPK tidak akan menelan mentah-mentah informasi mengenai aliran dana tersebut. “Pasti KPK akan melakukan proses-proses validasi.”
Sumber dan jumlah sumbangan pendanaan kampanye bagi kandidat, baik dalam Pilkada, Pemilihan Presiden (Pilpres), maupun Pemilihan Legislatif (Pileg), telah diatur dalam UU Pemilu. Menurut Donal, bila benar ada aliran dana ke “Teman Ahok” sebesar Rp 30 miliar, maka jumlah tersebut merupakan jumlah yang tidak wajar.
“Jadi korporasi yang bersimpati kepada calon kandidat juga bisa menyumbang, tapi dalam batas yang wajar. Di UU Pemilu juga sudah mencantumkan batasan yang diperbolehkan hukum, dan Rp 30 miliar adalah jumlah yang tidak wajar,” ujar dia.
Ia beralasan apabila jumlah sumbangan terlalu besar maka akan mempengaruhi indepedensi kandidat yang diusung. “Sangat disayangkan apabila itu terjadi,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Donal juga berharap agar media tidak ikut memojokkan “Teman Ahok”, akan tetapi harus segala hal dari berbagai sudut pandang agar lebih bijak dalam melihat suatu permasalahan. Ia beranggapan pasti segala permasalahan memilki akar mula yang memang harus dicerabut.
Oleh karena itu, Donal mengingatkan kepada partai politik (Parpol) untuk juga menyadari segala bentuk kekurangan yang ada. “Praktik seperti itu sudah banyak terjadi di Pilkada, uang-uang yang begitu besar mengalir ke calon kandidat. Namun, yang terjadi hari ini seolah parpol cuci tangan atau merasa clear dari praktik itu, lalu melihat “Teman Ahok” salah,” katanya.
KPK diharapkan mampu masuk dalam ranah pengawasan dana kampanye.
“KPK memang harus menyelidiki “Teman Ahok” agar infonya tidak simpang siur dan KPK bisa melakukan penindakan kalau itu benar. Namun, parpol jangan seakan cuci tangan dalam hal ini. Kita fair saja. Di luar “Teman Ahok” kita harus berpandangan lebih luas karena ini juga dialami oleh parpol, baik dalam bentuk relawan atau tidak. Kami mendukung KPK masuk ranah ini,” ujar Donal.
Sebelumnya, terdapat 269 daerah yang melaksanakan Pilkada serentak tahap pertama. Namun, tidak ada satu pun kelompok volunteer, parpol, maupun kandidat yang melaporkan sirkulasi dana kampanyenya. Padahal, tidak menutup kemungkinan di dalamnya terdapat dana dari sumber ilegal.
Editor : Sotyati
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...