ICW Galang Petisi Batalkan Budi Gunawan Sebagai Calon Kapolri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Petisi untuk mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) menarik kembali pencalonan Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) mulai bergulir. Petisi ini digagas oleh Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Coruption Watch (ICW) Emerson Yuntho melalui situs change.org.
Di awal petisi tersebut, Emerson mengatakan saat ini bermunculan sejumlah nama bursa calon Kapolri. Mulai dari Komjen Polisi Budi Gunawan, Komjen Polisi Suhardi Halius, Komjen Polisi Badroeddin Haiti, Irjen Polisi Safruddin, Irjen Polisi Pudji Hartanto, dan Irjen Polisi Unggung Cahyono. Diluar nama-nama tersebut juga beredar sejumlah nama lainnya.
Emerson kemudian menyampaikan adanya kerisauan publik mengenai nama-nama calon Kapolri yang diduga memiliki rekening gendut. Oleh karena itu, kata dia, sebaiknnya Presiden Jokowi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna memberi masukan mengenai rekam jejak para calon Kepala KapoIri.
“Muncul kerisauan terdapat nama calon Kapolri yang diduga memiliki rekening tidak wajar jika dibandingkan dengan penghasilan yang seharusnya tidak terima (dikenal dengan istilah rekening gendut jenderal polisi). Masih banyak pula rekam jejak calon Kapolri yang publik tidak diketahui,” ujar dia.
Menurut Emerson, jabatan Kapolri adalah jabatan paling strategis di bidang penegakan hukum dan merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan Program Nawacita khususnya di bidang hukum dan pemberatansan korupsi di era Pemerintahan Jokowi. “Sehingga sulit bagi publik untuk percaya pada institusi penegak hukum seperti Kepolisian jika pemimpinnya nanti punya masalah dengan hukum, ujar dia.
“Kami mengingatkan Presiden Jokowi bertindak hati-hati dan bijaksana dalam memilih calon Kapolri,” Emerson menambahkan.
Harus Diperhatikan Jokowi
Oleh karena itu, ia menyampaikan tiga hal yang harus menjadi perhatian Presiden Jokowi sebelum menggunakan hak prerogatifnya dalam memilih Kapolri. Pertama, sebaiknya tidak didasarkan pada politik dagang sapi atau politik balas budi. Penunjukan Kapolri harus didasari pada aspek kepemimpinan (leadership), integritas, rekam jejak, kapasitas, dan komitmen yang kuat dalam mendorong agenda reformasi dan antikorupsi. Sebaiknya Jokowi juga tidak memilih figur Kapolri hanya karena dia dianggap berjasa terhadap dirinya selama masa Pilpres maupun titipan Ketua Umum atau elit partai tertentu.
Kedua, Kapolri yang nantinya terpilih harus dipastikan tidak bermasalah atau berpotensi menimbulkan masalah. Hal ini penting agar tidak mencoreng kredibilitas pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla atau justru menyandera dengan persoalan korupsi, hak asasi manusia (HAM), pencucian uang, dan persoalan hukum lain yang dilakukan oleh Kapolri atau internal Kepolisian.
“Bila Jokowi salah memilih figur Kapolri, maka akan berdampak rusaknya kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak saja sesaat namun bisa saja hingga lima tahun kedepan atau selama periode pemerintahan Jokowi.
“Sudah seharusnya Jokowi mengulang kesuksesan dalam menjaring calon menteri di Kabinet Kerja dan mendapatkan figur yang berintegritas apa yang dilakukan oleh Jokowi dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK).
Mengapa KPK dan PPATK
Mengapa harus melibatkan KPK dan PPATK? Menurut Emerson, kedua lembaga ini telah teruji dan berperan aktif dalam upaya pemberantasan korupsi dan pencucian uang, serta memiliki data dan informasi mengenai rekam jejak seseorang terkait dengan perkara korupsi maupun transaksi keuangan yang mencurigakan. Lembaga ini juga memiliki citra yang positif dan relatif lebih dipercaya dimata publik.
“Setelah ‘Hoegeng’ yang legendaris tidak lagi menjadi Kapolri, hingga kini kita tidak lagi memiliki figur-figur Kapolri yang dapat dibanggakan, dipercaya, dan dicintai publik. Kini, Presiden Jokowi memiliki tugas untuk memunculkan kembali ‘Hoegeng’ baru menjadi Kapolri,” kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW itu.
Meminta Jokowi
Untuk mendapatkan figur Kapolri yang terbaik, maka Emersin menyampaikan tiga permintaan pada Presiden Jokowi. Pertama, menunda penyerahan nama calon Kapolri ke DPR, sebelum dilakukan pendalaman maupun investigasi mengenai rekam jejak para kandidat. Terlebih, masa pensiun Jenderal Polisi Sutarman baru berakhir pada oktober 2015 mendatang.
Kedua, melibatkan atau mengundang KPK dan PPATK maupun lembaga atau komisi negara lain seperti, Direktorat Jenderal Pajak, Komisi Nasional HAM, untuk memberikan masukan mengenai rekam jejak calon Kapolri.
“Terakhir, membuka diri terhadap masukan dari semua pihak, termasuk masyarakat dan media mengenai rekam jejak setiap calon Kapolri,” ujar Emerson.
Hingga Minggu (11/1), pukul 08.30 WIB, petisi ini sudah didukung 279 orang.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...