ICW: Pengambilan Aset Sanksi Efektif bagi Koruptor
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, mengatakan bahwa pemiskinan atau pengambilan aset dan harta hasil korupsi sebagai sanksi yang lebih efektif dan dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman penjara.
"Para koruptor itu kan lebih takut miskin daripada takut dipenjara. Jadi, satu-satunya cara yang ampuh untuk membuat orang jera melakukan korupsi adalah dengan memiskinkan koruptor," kata Ade saat dihubungi di Jakarta, Rabu (13/11).
Menurut Ade, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang dapat digunakan untuk upaya pemiskinan koruptor, yaitu Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Dan sekarang ini sedang dikembangkan RUU (rancangan undang-undang) tentang perampasan harta hasil korupsi dari koruptor dan keluarganya," kata dia.
Dia juga mengatakan, pengambilan aset atau harta kekayaan koruptor sebetulnya dapat dilakukan dengan mudah bila aparat sudah membuktikan aset itu merupakan hasil tindak pidana korupsi. "Jadi, bila aparat penegak hukum sudah bisa membuktikan dan menunjukkan bahwa harta yang diperoleh merupakan hasil korupsi maka aset si koruptor itu sudah pasti bisa disita oleh negara," kata dia.
Pembuktian Terbalik
Menurut Ade, upaya penyitaan harta kekayaan seorang koruptor pun dapat dilakukan dengan pembuktian terbalik, di mana si pelaku tindak korupsi harus membuktikan bahwa sejumlah harta kekayaan yang dimilikinya memang bukan hasil korupsi.
"Misalnya, kalau dia tidak bisa membuktikan bahwa sejumlah dana yang ada di rekeningnya itu diperoleh dari hasil usahanya yang halal maka itu seharusnya bisa disita oleh negara," kata dia.
Pembuktian itu, kata dia, diperoleh dengan memastikan sumber yang sebenarnya dari dana dan aset yang dimiliki koruptor, dan si koruptor lah yang harus membuktikan bahwa sumber dana dan aset itu bukan dari hasil korupsi.
"Kalau itu terbukti dari hasil usahanya maka tidak disita. Kalau tidak bisa dibuktikan itu hasil usaha dia, maka negara berhak menyita uang atau aset itu," kata dia.
Dia pun menilai bahwa tidak ada unsur pelanggaran hak asasi dalam proses pemiskinan koruptor dan keluarganya karena yang diambil alih memang harta kekayaan hasil tindak kejahatan.
"Prinsipnya pengambilan kembali harta hasil korupsi oleh negara bukanlah suatu tindakan yang melanggar hak asasi. Karena bila hal itu tidak dilakukan justru akan melanggar hak asasi orang banyak," kata Ade.
Sebelumnya, ICW menilai penanganan kasus korupsi seringkali masih berujung dengan vonis yang mengecewakan di pengadilan.
Rendahnya efek jera yang ditimbulkan sanksi hukum terhadap koruptor membuat beberapa pihak mengusung strategi pemiskinan koruptor dengan penerapan dua undang-undang, yakni Undang-undang (UU) Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...