Ikhwanul Muslimin Mesir Dituduh Memanipulasi Media
SATUHARAPAN.COM - Ikhwanul Muslimin dituduh memutarbalikkan kebenaran di TV dan jejaring sosial. Seorang komentator menyebutkan beberapa pesan kebohongan besar yang dibuat Ikhwanul Muslimin. Demikian dilansir dari situs al Arabiya.
Baik media mainstream maupun jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi medan pertempuran antara pihak yang saling bermusuhan dalam kerusuhan yang mengarah ke penggulingan Presiden Mesir Mohammad Morsi.
Media massa Ikhwanul Muslimin dikecam telah memutarbalikan kebenaran sementara tuduhan bias dilontarkan kepada al Jazeera, seperti halnya kecaman yang dituduhkan ke saluran al Arabiya dan CNN untuk liputan mereka.
Dalam salah satu kasus yang paling mencolok dan mengejutkan, halaman Facebook Ḥizb Al-Ḥurriya Wal Adala, (Partai Kebebasan dan Keadilan), sayap politik Ikhwanul Muslimin, memajang gambar anak-anak yang tewas di Suriah dengan menyatakannya sebagai korban kerusuhan di Mesir.
Gamal Zayda, manajer editor koran al Ahram di Mesir, mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin menggunakan beberapa gambar untuk menguntungkan mereka.
“Ikhwanul Muslimin mengetahui pentingnya citra di media Barat, mereka menggunakannya untuk mencari simpati,” kata Gamal Zayda.
Halaman Facebook Ikhwanul Muslimin juga menampilkan gambar pemain sepak bola Mesir, Mohammad Abu Trika, memimpin demonstrasi menentang dewan militer di Kairo. Namun Abu Trika terambil gambarnya mengenakan pakaian musim dingin yang ternyata rekaman lama kadaluwarsa saat ini.
“Itu adalah kebohongan besar”, kata Gamal Zayda.
Dalam kasus lain, situs resmi Ikhwanul Muslimin pekan lalu memposting sebuah artikel yang menyatakan presiden sementara Adly Mansour seorang Yahudi yang menyembunyikan jatidirinya. Ini juga tuduhan tidak berdasar lainnya seperti Adly Mansour menjadi bagian dari konspirasi untuk menunjuk Mohammed ElBaradei, mantan pejabat PBB dan tokoh oposisi sebagai presiden. Artikel itu kemudian dihapus dari situs resmi Ikhwanul Muslimin.
Gamal Zayda menuduh Ikhwanul Muslimin telah merekrut orang-orang muda untuk mengkritik dirinya dan orang lain melalui internet.
“Setiap menulis kolom, saya kebanjiran email dari Ikhwan (anggota Ikhwanul Muslimin) yang menghina saya, mereka berusaha sangat keras menggunakan media sosial untuk menggambarkan citra negatif dan menghancurkan lawan-lawan politik mereka, mereka sangatlah tidak beruntung karena media di Mesir lebih luas dari itu,” katanya.
Ikhwanul Muslimin dan saluran TV pro Morsi juga telah dituduh bias.
Setidaknya tiga stasiun TV Islamis, termasuk Channel 25 dari Ikhwanul Muslimin, al Hafiz, dan al Nas dipaksa tentara tidak mengudara pada jam-jam setelah Morsi digulingkan.
Penulis dan jurnalis Abdel Latif el-Menawy yang mengepalai Pusat Berita Mesir (Egypt News Center) di bawah mantan presiden Hosni Mubarak, mengatakan saluran tersebut kurang berimbang dan telah menambah ketegangan.
“Saluran ini tidak berurusan dengan cara yang tepat,” kata Abdel Latif el-Menawy.“ Mereka adalah alat dalam pertikaian. Mereka benar-benar bias. (Mereka) menciptakan kebencian antara Muslim dengan Kristen, bahkan Muslim dengan Muslim.”
Kelompok pers kebebasan Reporter Tanpa Batas (Reporters Without Borders) dan Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalists) mengecam langkah militer untuk menutup stasiun TV dan mengatakan itu merupakan ancaman kebebasan berbicara.
Menanggapi setiap tindakan yang mengancam media bebas, Abdel Latif el-Menawy mengatakan bahwa dalam keadaan sulit kadang-kadang tindakan itu diperlukan.
Membiarkan saluran memulai siaran lagi, dan kemudian berurusan dengan pelanggaran hukum yang tepat adalah cara terbaik ke depan, Abdel Latif el-Menawy menambahkan. “Mereka harus mendapatkan saluran ini untuk bekerja lagi, dan berurusan dengan mereka secara hukum,” katanya.
Selama masa kejayaan mereka di bawah Mohammad Morsi, saluran Islamis dikenal sebagai pelaku yang membuat tuduhan liar atas tokoh-tokoh masyarakat.
Pada bulan Juni, presenter acara talk show TV populer di Channel 25 menuduh beberapa tokoh populer di media Mesir murtad dan berhubungan dengan rezim yang digulingkan, Hosni Mubarak.
Nourdeddin Abdel Hafiz bahkan mengenakan tuduhan atas Amr Mousa. Dia mengatakan mantan kandidat presiden itu bekerja untuk sebuah perusahaan Zionis bersama dengan yang lain dari rezim lama.
Saluran Al-Hafiz yang acaranya dibawa Mahmoud Shaban, seorang profesor terkemuka Islam dari universitas al Azhar, menyerang satiris TV populer Bassem Youssef.
Bassem Youssef telah menghina Mahmoud Shaban di acaranya sendiri, setelah profesor itu menolak diwawancara pembawa acara televisi perempuan. Di al Hafiz, Mahmoud Shaban menanggapi Bassem Youssef, menyebutnya cabul dan munafik. Dia menyatakan Bassem Youssef menerima dana dari kelompok Kristen.
“Jika kamu seorang laki-laki seperti yang kamu omongkan, dan saya meragukan itu, saya tantang kamu menyerang Paus atau tokoh Kristen ... tetapi kamu telah dibayar mereka dan kelompok mereka yang mengelola saluranmu (CBC) melalui iklan dan uang,” kata Mahmoud Shaban dalam menanggapi kemarahannya kepada Bassem Youssef.
Saluran media mainstream seperti al Arabiya dan al Jazeera juga telah dikritik dalam peristiwa baru-baru ini di Mesir.
Beberapa karyawan al Jazeera di Mesir keluar dari tempat kerja mereka di tengah kekhawatiran atas tuduhan bias saluran mereka terhadap Ikhwanul Muslimin dan liputannya tentang Mesir, dengan beberapa laporan media yang menempatkan pada angka 22. Sebuah sumber di al Jazeera mengatakan angka itu terlampau jauh.
Seorang ahli media dengan akses ke ruang berita Al Jazeera mengatakan bahwa dugaan stasiun TV itu bersikap pro Ikhwanul Muslimin karena keterkaitan mereka dengan para pendukung Qatar.
“Masalahnya adalah Al Jazeera baru-baru ini semakin memperkokoh posisinya sebagai alat pemerintah Qatar, orang menghubungkannya dengan kepemimpinan Qatar. Meskipun benar banyak orang yang marah dengan liputan al Jazeera yang pro Ikhwanul, banyak lagi yang benar-benar hanya marah pada Qatar karena mereka merasa bahwa tidak ada yang berubah dengan pelepasan Emir (Sheikh Hamad) yang masih memerintah dari balik layar.” Kata ahli media al Arabiya.
Al Jazeera dengan keras menyangkal liputannya kurang berimbang, dan dalam sebuah pernyataan mengatakan salurannya memunculkan semua sudut kejadian di Mesir dengan berimbang dan integritas.
Namun, dalam video berikut, presenter televisi al Jazeera dan pewawancara Ahmad Mansour menyerukan pemberontakan yang bertentangan dengan revolusi 30 Juni. Slogannya menolak peristiwa ini, Mansour mengatakan, harusnya menjadi revolusi 25 Januari, dan tidak mengembalikan Presiden terguling Morsi.
Saluran berita al Arabiya juga telah diserang untuk dugaan sikap anti Ikhwanul Muslimin.
“Al Arabiya berjuang melawan Ikhwanul Muslimin, mereka membuat musuh fiktif,” kata Omar Alzaid, presenter TV di program TV Kasr Alsanam, saluran TV agama Al Safa yang berbasis Saudi, dalam klip yang tersedia di YouTube.
“Al Arabiya telah menyinggung kami, kami mengasihi orang-orang Mesir, dan mereka adalah saudara kami ... Al Arabiya memanfaatkan kami dan membuat kami nampak berkonspirasi terhadap orang Arab lainnya,” tambahnya.
Beberapa kicauan dipaksa menyatakan bahwa al Arabiya telah memalsukan video dan gambar Photoshop yang digunakan dalam liputannya, sesuatu yang ditolak saluran itu.
Seorang editor senior di stasiun televisi al Arabiya mengatakan penyataan fiktif seperti itu tak terelakkan mengingat adanya pergolakan regional. Dia mengatakan bahwa semua pemalsuan yang terjadi karena platform jejaring sosial para aktifis, dan kadang-kadangn al Arabiya menjadi korban upaya pemalsuan itu.
“Dalam situasi konflik, emosi berjalan tinggi, dan orang-orang cenderung ingin menembak si pembawa pesan. Di al Arabiya, kami terus mengejar kebenaran dan berusaha untuk membiarkan penonton kami tahu lebih banyak, jelas, pihak-pihak tertentu dalam konflik tidak akan selalu menyukainya dan menuduh kita dengan segala macam hal, namun hal ini tidak dan tidak akan menghentikan kami mengejar kebenaran.”
Editor : Yan Chrisna
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...