Imam Al Azhar Serukan Antariman Lawan Kemiskinan dan Kekerasan
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Imam Besar Masjid dan Universitas Al Azhar, Ahmed Al Tayyeb, mengemukakan saat ini dunia berada dalam periode krisis peradaban kemiskinan dan ketidakamanan, dan menyerukan pemimpin umat beragama bekerja sama mengatasinya.
Seperti diberitakan oikoumene.org, pada hari Kamis (6/10), saat menyampaikan presentasi berjudul “The Responsibility of Religious Leaders in Building World Peace” (Tanggung Jawab Pemimpin Agama dalam Membangun Perdamaian Dunia), di Jenewa, Al Tayyeb mendesak umat Kristen dan Muslim menunjukkan sikap yang benar sebagai umat beragama dari berbagai belahan dunia, dalam rangka mewujudkan harapan manusia agar bersama-sama dapat mengatasi kendala degradasi peradaban yang membawa manusia kembali ke era kegelapan, kebodohan, dan hukum rimba.
Presentasi Al-Tayyeb merupakan bagian dari dialog yang berlangsung selama dua hari antara Muslim Council of Elders (Dewan Sesepuh Muslim) dengan delegasi dari World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja Dunia di Jenewa, dalam rangkaian perayaan ulang tahun ke-70 Ecumenical Institute, Bossey, Swiss, yang diperingati 1 Oktober.
Sekretaris Jenderal WCC, Olav Fykse Tveit, menyebut kunjungan Muslim Council of Elders adalah kunjungan bersejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya. Kunjungan tersebut berlangsung hanya dua bulan setelah seminar pemuda diselenggarakan bersama di Al-Azhar.
Akar Modern Kekerasan
Al Tayyeb menyampaikan ceramah di hadapan lebih kurang 150 orang. Dalam ceramah tesebut dia juga menyampaikan kritik secara radikal terhadap kekuasaan yang dijalankan pemerintah berbagai negara saat ini.
Al Tayyeb mengemukakan faktor nonreligius seperti modernitas, teknologi, dan pengembangan ilmu pengetahuan saat ini, gagal memberikan rasa aman, dan perdamaian bagi manusia.
Al Tayyeb mengkritik paham sinisme dan sekularisme yang meluas karena pada era modern ini ditandai dengan hilangnya nilai-nilai agama yang diberangus oleh konflik bersenjata (termasuk dua perang dunia), yang dipicu perdagangan senjata. “Hal tersebut mengurangi makna kebahagiaan, karena kebahagiaan hanya dapat dinikmati sekelompok individu yang memiliki modal bertahan hidup, karena sebagian besar orang hidup dalam kondisi kemiskinan,” kata dia.
Dia menaruh keprihatinan terhadap eksploitasi ekonomi yang dilakukan negara-negara yang kuat dan perusahaan-perusahaan internasional.
“Dalam proses tersebut sekelompok orang yang memiliki kekayaan akan mengendalikan perekonomian dunia, memonopoli pasar, dan memaksakan bentuk-bentuk ekonomi baru, selain merampas dan menjarah sumber daya dari negara-negara miskin,” kata dia.
Dia menjelaskan kondisi seperti itu sangat jauh dari cita-cita Perserikatan Bangsa-Bangsa yang tertuang dalam “The 1945 UN Charter” atau Piagam PBB 1945 dan “The 1948 Universal Declaration of Human Rights,” atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948.
Dia mencoba menghilangkan prasangka terhadap benturan peradaban atau akhir dari sejarah sebagai akar penyebab kekerasan dan terorisme. Namun, kekerasan dan terorisme timbul lewat berbagai kebijakan yang bias, standar ganda, dan keserakahan yang dilakukan sejumlah orang atau kelompok yang berkeinginan mengeksploitasi wilayah lain lewat perlombaan produksi senjata. Dia menyatakan kemiskinan dan ketidakadilan merupakan cikal bakal kekerasan.
Islam Sebagai Jalan Perdamaian
Al Tayyeb mengingatkan banyak anggapan yang salah di dunia karena menghubungkan Islam dengan terorisme, karena sesungguhnya sentralitas Islam adalah perdamaian.
“Agama dan kekerasan tidak sama, dan semua agama memiliki tujuan yang sama demi kebahagiaan umat manusia,” kata dia.
“Saya menggarisbawahi fakta bahwa kelompok agama yang identik dengan kekerasan bersenjata menganjurkan pesan yang dalam kenyataannya mengkhianati agama mereka,” kata dia.
Dia mengatakan kelompok seperti itu merupakan kelompok yang tidak dapat diterima dan termasuk kelompok yang tercela dan tidak mewakili Islam.
Al-Tayyeb mendesak para pemimpin agama berkonsentrasi pada keterlibatan dan pendidikan kaum muda, terutama dalam pengaturan antaragama, sebagai tindakan pencegahan terhadap kesalahpahaman dan kekerasan.
Ia mencontohkan keberhasilan inisiatif antaragama saat Al Azhar melakukan kerja sama dengan Gereja Koptik Mesir dalam kerja sama yang berjudul “The House of Egyptian Family”. Kerja sama tersebut berupa penelitian tentang penyebab kekerasan, penelitian tentang pemahaman baru agama dalam bersikap terhadap umat beragama yang lain, dan penelitian tentang interaksi pemimpin Kristen-Muslim, terutama kaum muda. Program itu telah dilaksanakan di seluruh Mesir. Al Tayyeb mengatakan tujuan pertemuan antaragama dan dialog tersebut untuk mengurangi penderitaan umat manusia.
“Seluruh dunia saat ini membutuhkan kebijaksanaan dan tindakan pemuka agama yang lebih konkret dari sebelumnya untuk mengurangi penderitaan rakyat,” kata dia. (oikoumene.org)
Editor : Sotyati
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...