“Imbang” yang Tidak Imbang, Yoga Visual I Nyoman Darya
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sembilan lukisan tunggal dalam berbagai ukuran dan dua lukisan series masing-masing berjumlah sembilan dalam dimensi yang sama 40 cm x 50 cm dengan obyek yang relatif senada: figur berjumlah maksimal tiga dalam olah tubuh.
Dua puluh tujuh lukisan karya I Nyoman Darya dipresentasikan di Sangkring art project Jalan Nitiprayan No. 88 RT.01/RW.20, Sanggrahan, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan – Bantul, 9-24 November 2019.
Setelah pameran tunggal bertajuk “Through the looking glass” di Artoholic gallery – Singapura (2008) dan “Hedon is Me” di Galeri Canna-Jakarta (2011), pameran bertajuk “Imbang, Yoga Visual I. Darya” menjadi pameran tunggal ketiga I Nyoman Darya.
Yoga sebagai sebuah aktivitas olahraga dalam waktu-waktu terakhir mengalami tren peningkatan di masyarakat mengingat aktivitas tersebut memiliki banyak dimensi diluar olahraga. Pertama kali diperkenalkan dalam buku Yoga Sutras yang ditulis oleh patanjali, yaitu seorang tokoh legenda dari India yang hidup sekitar 200 hingga 500 SM, Yoga merujuk pada sebuah ilmu yang menjelaskan kaitan antara fisik, mental, dan spiritual manusia untuk mencapai sistem kesehatan menyeluruh (holistik) yang terbentuk dari kebudayaan India kuno.
Istilah Yoga berasal dari bahasa Sansakerta kuno yaitu yuj yang berarti penyatuan diri. Yoga memiliki tiga arti yang berbeda, yaitu: penyerapan (samadhi/yujyate), menghubungkan (yunakti), dan pengendalian (yojyanti). Namun makna kunci yang biasa dipakai adalah meditasi (dhyana) dan penyatuan (yukti). Sederhananya, yoga bisa diartikan sebagai sesuatu yang dapat membawa jiwa dan raga kembali menuju kesadaran.
Dengan demikian Yoga menjadi sebuah aktivitas olah tubuh yang melibatkan meditasi dengan teknik peregangan, pernapasan, keseimbangan, dan kelenturan tubuh untuk mencapai keselarasan dan harmoni antara emosi, jiwa, mental, spiritualitas, dan tubuh kita.
Dalam bingkai keselarasan dan harmoni inilah Darya memvisualkan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat melalui figur-figur obyek karyanya yang sedang melakukan aktivitas olah tubuh yoga. Menariknya potret imbang dalam karya Darya berangkat dari hal-hal yang sesungguhnya tidak seimbang: proporsi anggota tubuh, olah-gerak tubuh, hingga relasi yang terjalin di antara sesama manusia.
Realitas-realitas tersebut dieksplorasi Darya dalam ke-27 karya lukisannya. Dalam karya berjudul Percakapan Angin, tiga figur memperbincangkan keselarasan dan seimbang mengikuti gerak angin yang mengalir dan mengalun, berpusar dan lepas, mengisi tubuh dengan zarah alam, membimbing jantung dan pembuluh dengan olah tubuh yoga dalam gerak dan tingkat kesulitan yang berbeda.
Kondisi imbang-seimbang mensyaratkan relasi yang saling mempercayai. Visual karya Darya berjudul Ilmu Burung dengan figur perempuan yang berdiri di atas tangan pasangannya yang sedang melakukan olah tubuh sambil tiduran menopang kedua kaki pasangannya. Dalam Ilmu Burung, relasi yang dilandasi atas saling mempercayai dan berbagi peran akan melahirkan jiwa-jiwa yang merdeka.
Dalam karya berjudul Keteguhan Naga, Kelenturan Kadal, Kebajikan Anjing, potret realitas kesetiaan, keteguhan, kesabaran, kebajikan yang berakar pada adat-tradisi menuntun pada pembacaan yang beragam dalam perkembangan masyarakat modern-post modern yang semakin beragam, plural-multikultur.
Sebagaimana kebanyakan orang Bali yang masih cukup menjunjung tinggi adat-tradisinya, Darya tentu paham dengan tradisi leluhurnya yang masih melembaga dalam adat-istiadatnya salah satunya aktivitas yoga, Pada hari-hari tertentu ruang galeri seninya Indieart house digunakan untuk menyelenggarakan kelas yoga bagi kolega istrinya.
Pada titik ini, Yoga sebagai sebuah ritual tradisi berdampingan dengan olah tubuh yang semakin berkembang sebagai aktivitas rekreasi-relaksasi sebagai sebuah gaya hidup (lifestyle) seolah menghadapkan ritus tradisi dengan praktik komodifikasi, profanisasi dan sekularisasi terhadap entitas-entitas spiritual untuk kebutuhan pasar.
Dari kondisi berdampingannya dua hal yang berbeda, jika tidak ingin menyebutnya sebagai berhadapan secara vis a vis, Darya kerap melakukan pembacaan yang satire sekaligus reflektif-kontemplatif dalam karyanya. Karya-karya satire tersebut menjadi kritik Darya atas fenomena yang sedang terjadi.
Karya-karya surealis-satire dengan obyek figur pewayangan, tokoh dunia, superhero, maupun masyarakat anonim dalam bentuk tubuh yang tidak proporsional menjadi ciri khas karya Darya. Tentu pubik seni rupa masih ingat dengan karakter superhero Superman yang sedang menikmati teh dari cangkir tanah dalam karya berjudul “Nasgitel”. Atau figur tambun mengendarai sepeda roda tiga bertopeng Kim Jong Un yang sedang tertawa menarik peluru kendali bergambar bendera Korea Utara dalam karya lukisan berjudul “Good Morning”.
Dalam pameran tunggal ketiganya bertajuk “Imbang, Yoga Visual I. Darya” seluruh karya yang dipresentasikan berangkat dari kondisi kontradiktif yang tidak ideal-seimbang. Keseimbangan yang tercipta bisa jadi sebuah kondisi keterpaksaan meskipun tidak harus diposisikan berseberangan secara diametral.
Tiga Naga, Salam Semesta Lingkar Jagat, menjadi ikhtiar Darya memotret realitas tersebut. Dalam karya berjudul Melipat Diri Darya menukik pada kesadaran bahwa suka-duka, sedih-gembira, hingga hidup-kematian adalah dramatika kehidupan yang menyatu dari kedirian setiap insan: sebagaimana kitab dan sukma, tubuh dapat dilipat dan ditumpuk, agar selaras dan sepadan.
Menariknya, seluruh obyek figur perempuan yang digambarkan Darya dalam seluruh karya pada pameran “Imbang, Yoga Visual I. Darya” tersebut berambut keriting. Pada Olah Yoni Series dan Olah Lingga Series, obyek tunggal masing-masing series melakukan olah tubuh dalam gerakan yoga yang sulit bagi kebanyakan orang. Imbang-keseimbangan hanya sebuah impian? Darya tentu punya jawaban sendiri. Begitupun dengan Anda.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...