Imigran Kristen di Jerman Sering Diancam Kematian
ROTENBURG, SATUHARAPAN.COM – Penyiksaan terhadap pengungsi beragama Kristen yang berada di Jerman mendorong banyak pihak melakukan langkah serius guna mencegah kekerasan berlatar belakang kebencian agama.
Hal tersebut merupakan bagian dari pernyataan resmi yang dikemukakan organisasi yang melakukan monitoring terhadap kehidupan umat Kristen yang teraniaya di seluruh dunia – Open Doors – dan dikutip kembali Christian Today hari Senin (24/10).
Mereka merilis fakta tentang penganiayaan pada studi kasus kehidupan imigran yang bertempat tinggal di pusat imigran di Rotenburg, Jerman.
Para peneliti menemukan banyak imigran Kristen yang hidup di bagian tengah negara tersebut menghadapi ancaman kematian dari para pengungsi Muslim, yang memberi hukuman dari dewah Syariah yang tidak resmi.
Pada 10 Juli, sejumlah pengungsi Kristen yang baru saja kembali dari gereja mendapati sebuah tulisan bernada ancaman di salah satu kamar yang berbunyi: “Untuk semua Muslim: sekarang adalah waktu untuk memenggal kepala orang-orang kafir.”
Imigran Kristen sementara pindah untuk hidup di sebuah gereja lokal untuk menghindari serangan. Salah satu pengungsi Iran mengatakan kepada pewawancara bahwa dia pernah mendengar sekelompok laki-laki yang menyerukan kebencian.
”Siapa pun yang menemukan seorang perempuan Iran hari ini, Anda boleh memperkosa dan membunuhnya. Anda boleh membunuh dan memperkosa mereka Anda bisa melakukannya, di mana-mana dimana pun Anda menemukan mereka, Anda mungkin melakukan itu," menurut sumber tersebut.
“Kami datang ke sini untuk hidup bebas, tetapi sekarang kita seperti hidup dalam penindasan berat,” menurut sumber tersebut.
“Ini sama saja dengan Daesh (Islamic State Iraq and Syria, ISIS). Kami merasa sangat tertindas. Saya merasa setiap hari hidup dalam ancaman yang akut, dan saya tidak tahan lagi. Saya menyimpan rapat-rapat rahasia ini karena tidak ada yang boleh tahu bahwa saya pemeluk Kristen, karena saya saat ini merasa takut mereka mungkin mencari tahu tentang identitas saya hingga ke Iran. saya hidup dalam pengaruh ketakutan dan penindasan,” kata dia.
Pemeluk Kristen asal Iran lainnya mengatakan ada seorang perempuan Muslim yang mengambil paksa Alkitab miliknya dan merobeknya di tempat terpisah.
“Saya melarikan diri dari Iran karena saya ingin hidup dan sekarang yang terjadi di sini malah sama saja,” dia menambahkan.
“Saya hidup dalam ketakutan di sini, karena lagi-lagi banyak orang yang bertanya kepada saya: 'Mengapa kamu seorang Kristen?' Sebenarnya saya berusaha melarikan diri dari pertanyaan semacam itu, namun pada kenyataannya saya harus akrab dengan hal tersebut,” dia menambahkan.
Pengungsi ketiga menceritakan mendapat ancaman kematian pada bulan Juni. “Ada beberapa orang mengatakan kepada saya. Kami akan membunuh Anda karena Anda adalah seorang Kristen dan Anda telah meninggalkan agama sebelumnya,” kata dia.
Open Doors mencatat kesaksian dari 32 pengungsi yang terkena serangan berlatar belakang perbedaan agama dan banyak terpusat Rotenburg. Para pengungsi yang diwawancarai antara lain berasal Iran, Suriah, Eritrea, dan Irak.
Sejumlah pengungsi mengatakan bahwa staf keamanan di pusat imigran gagal mengambil tindakan keamanan, selain itu banyak imigran yang takut untuk melaporkan insiden sejenis itu ke polisi.
Studi kasus tersebut merupakan kelanjutan dari laporan sebelumnya yang dirilis Open Doors awal bulan ini yang menyebutkan ratusan imigran Kristen di berbagai kamp imigran mengalami pemukulan dan pelecehan seksual.
Menurut laporan tersebut sebanyak 743 orang Kristen dan 10 orang Yazidi menjadi korban serangan yang berlatar belakang agama di berbagai kamp imigran pada periode Februari hingga September 2016. Menurut laporan tersebut angka itu disebut sebagai puncak gunung es.
Menurut laporan tersebut banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan, dan korban kekerasan yang berani melaporkan insiden tersebut hanya berkisar 17 persen karena mereka mengalami ketakutan situasi akan semakin runyam.
Di pusat penampungan imigran Rotenburg, bagaimanapun, langkah-langkah telah diambil untuk mengatasi ketegangan agama yakni imigran Kristen ditempatkan terpisah dari kelompok besar imigran tersebut, dan saat ini terdapat juga sejumlah orang Kristen yang ditempatkan untuk mengawasi pengungsi Kristen.
“Sejak terdapat perubahan semacam ini, saat ini tidak terdapat laporan kekerasan bermotif agama di tempat imigran,” menurut laporan Open Doors. (christiantoday.com)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...