INDEF: Rupiah Terpuruk, Kredibilitas Pemerintah Jadi Taruhan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap mata uang asing menjadi pertaruhan kredibilitas pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di bidang ekonomi, karena Indonesia bisa saja dinilai tidak menjadi negara yang layak untuk investasi.
“Saat ini kalau situasinya terus menerus seperti ini (pelemahan rupiah terhadap mata uang asing), dikhawatirkan sulit adanya industri yang bersaing,” kata Direktur Indef (Institute for Development of Economics and Finance) pada diskusi “Pas FM: Rupiah Terkapar, Bagaimana Nasib Bisnis?”, hari Rabu (26/8) di Restoran HCM, Plaza Semanggi, Jakarta.
Kredibilitas pemerintah, menurut Enny, tidak hanya sekali ini saja terpuruk, bahkan berkali-kali saat tidak mampu mencegah kelangkaan beras, hingga jarangnya stok daging di pasaran beberapa waktu lalu.
“Ini pemerintah saja tentang harga daging sampai kelangkaan daging ndak mampu mengatasi,” dia mencontohkan.
Enny menyebut investasi asing yang banyak berkembang di Indonesia saat ini banyak di sektor riil, oleh karena itu pemerintah diharap melakukan langkah cepat di sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
“Sektor UMKM ini ibaratnya jadi juru selamat untuk perekonomian kelas menegah, jadi kalau industri besar banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ya memang UMKM bisa menjadi solusi,” dia menambahkan.
Enny berharap kebijakan tim ekonomi (para menteri ekonomi) pemerintahan Jokowi-JK tidak akan ikut-ikutan melakukan devaluasi seperti Tiongkok.
“Karena kalau begitu besar produk Cina (Tiongkok) masuk ke sini (Indonesia), nah terus industri kita mau ke mana,” dia menambahkan.
Enny menjelaskan industri padat karya dan manufaktur yang banyak mempekerjakan tenaga kerja dengan cara outsourcing rentan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK), karena apabila biaya yang dikeluarkan perusahaan besar mendatangkan bahan baku maka otomatis akan ada pengurangan biaya untuk mendatangkan atau merekrut pegawai baru.
Enny menambahkan pemerintah dan Bank Indonesia dianggap telah mengabaikan pelemahan rupiah, sehingga menjadi pemicu penurunan investasi yang makin melemahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Pemerintah dan BI selalu menyalahkan kondisi global, sehingga tidak menganggap kasus ini butuh emergency rescue (pertolongan darurat)," kata Enny.
Enny menjelaskan, sebagai otoritas moneter, BI dinilai sudah sepatutnya melakukan intervensi moneter yang lebih agresif. Hal ini, sebagai upaya membuat nilai tukar yang lebih stabil dan berdampak pada tertahannya arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia.
"Mereka masih percaya bahwa ketika capital outflow belum signifikan, Indonesia masih aman. Tapi kenyataannya, kemarin sudah terjadi arus capital outflow dan tidak diantisipasi dengan baik," kata dia.
Pada Senin (24/8) Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II Richard Joost Lino tak cemas menghadapi terkaparnya nilai tukar rupiah terhadap USD. Padahal, rupiah kini sudah menyentuh Rp 14 ribu per dolar AS.
Menurut Lino, memburuknya nilai tukar rupiah tidak selamanya memberi dampak jelek kepada perseroan. Pasalnya, hampir seluruh perusahaan pelat merah saat ini sudah menggunakan transaksi dolar.
Di tempat terpisah Pelemahan rupiah terhadap mata uang Paman Sam membuat industri tekstil ketar-ketir. Banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ikuti berita kami di Facebook
Editor : Eben E. Siadari
Putin Bantah Rusia Kalah di Suriah, Sebut Akan Bertemu Assad
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan pada Kamis (19/12) bahwa Rusia be...