Indonesia Bukan Wilayah untuk Berjihad
JAKARTA , SATUHARAPAN.COM - Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian menegaskan Indonesia bukanlah wilayah yang dibenarkan untuk melakukan jihad.
Terorisme masih merupakan ancaman bagi seluruh dunia, termasuk Indonesia. Jaringan teroris akan merasa memiliki legitimasi untuk melakukan serangan teror selama konflik bersenjata di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim di Timur Tengah dan Afghanistanyang hingga kini masih terus berlangsung. Dan kini memperluas operasi ke negara-negara lain seperti Filipina dan Indonesia.
Dalam sambutannya di acara seminar internasional bertajuk Counter-Terrorism: Contemporary Strategies and Future Architecture, berlangsung pada Kamis (27/9) di Universitas Bhayangkara, Bekasi, Jawa Barat, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian menegaskan Indonesia bukanlah wilayah yang dibenarkan untuk melakukan jihad.
Tito mengatakan klaim kaum teroris yang menyatakan wilayah Indonesia yang sah dijadikan untuk medan jihad tidak dapat diterima.
"Indonesia bukan wilayah yang sah untuk dijadikan tempat untuk berjihad. Kenapa? Karena Indonesia sudah dipimpin oleh orang-orang Islam dan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim," kata Tito.
Tito menambahkan bahwa kajian tentang terorisme menunjukkan alasan kelompok itu memilih beroperasi di Indonesia, karena tidak ada penerapan syaraiat Islam di Indonesia. Juga karena pemerintah yang berkuasa menjalin kerjasama dengan negara-negara Barat atau kafir.
Lebih lanjut Tito menjelaskan terorisme akan selalu menjadi ancaman bagi Indonesia selama konflik bersenjata di Timur Tengah dan Afghanistan masih terus berlangsung. Sebab, terorisme yang ada selama ini merupakan terorisme yang memanipulasi ajaran agama.
Tito membagi dua kelompok terorisme Indonesia yang berafiliasi dengan terorisme luar negeri yaituJamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al-Qaedah dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Tito menekankan ISIS lebih berbahaya ketimbang Al-Qaida karena ISIS ingin mendirikan khilafah atau pemerintahan Islam di seluruh dunia. ISIS menganggap siapa saja, termasuk muslim yang tidak sepaham dengan mereka, sebagai musuh yang halal darahnya.
Rohan Gunaratna, Profesor Studi Keamanan di the S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technology University, Singapura mengatakan untuk menangani isu terorisme negara perlu menggunakan pendekatan cerdas (smart power) yang merupakan gabungan dari pendekatan keras (hard power) dan pendekatan lunak (soft power).
Profesor Rohan menekankan terorisme tidak dapat diatasi dengan melakukan pendekatan lunak (soft power) saja, tapi juga perlu menggunakan pendekatan keras.
Indonesia menurutnya berperan penting dalam menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Karena itu dia berharap Indonesia tidak menjadi basis bagi terorisme yang juga bisa mengancam negara-negara lainnya di kawasan.
"Kita harus memastikan atau Anda (Indonesia) harus memastikan kawasan Asia Tenggara, kawasan yang sangat aman dan damai - di mana muslim, Hindu, Buddha, dan Kristen hidup bersama sebagai satu keluarga - harus tetap dijaga sebagai kawasan yang aman dan damai," ujar profesor Rohan.
Berafiliasi dengan Al-Qaida dan ISIS
Direktur Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Hamidin membenarkan bahwa jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia memang berafiliasi dengan Al-Qaida dan ISIS. Ditambahkannya, saat ini ISIS merupakan organisasi teroris paling berbahaya di dunia.
Meski mereka sudah kalah di Suriah dan Irak, lanjut Hamidin, namun paham dan jaringan ISIS sudah tersebar ke berbagai kawasan, termasuk Indonesia, melalui para jihadis yang sudah kembali ke negaranya masing-masing. Dia menambahkan untuk menangai terorisme, Indonesia memakai pendekatan hukum untuk menghormati hak asasi manusia.
Data dari Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan sejak Bom Bali I pada 2002 hingga tahun ini terdapat 32 pelaku bom bunuh diri. Pelaku serangan bom bunuh diri terbanyak terjadi tahun ini, yakni sebanyak 13 orang. Ini termasuk keluarga Dita Oepriarto yang melakukan bom bunuh diri terhadap tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei lalu dan keluarga Tri Murtono yang melakukan serangan bunuh diri di Markas Kepolisian Kota besar Surabaya pada 14 Mei lalu. (VOA)
Editor : Melki Pangaribuan
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...