Indonesia dan Iran Tidak Gabung Koalisi Militer 34 Negara
RIYADH, SATUHARAPAN.COM – Indonesia dan Iran tidak bergabung dengan koalisi militer anti terorisme yang dibentuk oleh negara-negara Islam. Iran, yang mayoritas penganut Muslim Syiah, yang merupakan saingan politik regional Arab Saudi yang mayoritas penganut Muslim Sunni, tidak hadir dalam pertemuan.
Sementara itu, Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia tidak menyebutkan mengapa tidak bergabung dengan kolaisi tersebut. Namun pada Februari lalu Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan alasannya.
Indonesia selalu menentang kelompok-kelompok ekstrimisme. Namun hal itu tidak berarti Indonesia serta merta bergabung dengan pasukan koalisi militer, termasuk yang dipimpin Amerika Serikat, untuk melawan kelompok terorisme seperti Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) atau ISIS.
Dia mengatakan bahwa koalisi tersebut bersifat militer, seperti halnya koalisi yang dibentuk 34 negara Islam, dan Indonesia hanya ikut andil di bawah keputusan PBB.
Basis Operasi di Riyadh
Aseperti diberitakan sebelumnya, sebanyak 34 negara Islam membentuk koalisi militer yang akan menghadapi kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS), kata menteri Pertahanan Arab Saudi, hari Selasa (15/12).
Koalisi yang berbasis di Arab Saudi ini, terutama untuk memerangi kelompok teroris. Pengumuman ini disampaikan pemerintah Arab Saudi melalui pernyataan bersama yang diterbitkan oleh kantor berita nasional SPA.
"Negara-negara (tersebut) di sini telah memutuskan membentuk aliansi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi untuk memerangi terorisme, dengan pusat operasi gabungan yang berbasis di Riyadh untuk mengkoordinasikan dan mendukung operasi militer," kata pernyataan itu.
Sebuah daftar panjang nama negara yang masuk dalam koalisi militer itu adalah Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Bahrain, Bangladesh, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Jibouti, Senegal, Sudan, Sierra Leone, Somalia, Gabon, Guinea, Palestina, Republik Federal Islam Komoro, Qatar, Pantai Gading, Kuwait, Lebanon, Libya, Maladewa, Mali, Malaysia, Mesir, Maroko, Mauritania, Niger, Nigeria, dan Yaman.
Pengumuman itu menyebutkan tentang "kewajiban untuk melindungi negara Islam dari kejahatan oleh semua kelompok teroris dan organisasi sekte apapun di mana mereka menyebabkan kematian dan kerusakan di muka bumi, serta mereka yang bertujuan meneror orang yang tidak bersalah."
Syiah Tidak Bergabung
Namun, Reuters melaporkan bahwa negara dan kelompok Muslim Syiah Iran, saingan kelompok Muslim Sunni dalam mencari pengaruh di dunia Arab, tidak hadir dari dalam pertemuan itu. Mereka juga tidak masuk dalam koalisi, terkait perang proksi antara dua kekuatan regional dalam perang di Suriah dan Yaman.
Sebelumnya, Amerika Serikat secara terbuka mendorong agar negara-negara Teluk Arab berbuat lebih banyak untuk membantu serangan militer terhadap kelompok militan ISIS / NIIS di Irak dan Suriah.
Dalam konferensi pers, putra mahkota Arab Saudi dan Menteri Pertahanan, Mohammed bin Salman, (30 tahun) mengatakan bahwa akan "dikoordinasikan" serangan untuk memerangi terorisme di Irak, Suriah, Libya, Mesir dan Afghanistan.
"Akan ada koordinasi internasional dengan negara-negara besar dan organisasi internasional... dalam operasi di Suriah dan Irak. Kita tidak dapat melakukan operasi ini tanpa berkoordinasi dengan legitimasi masyarakat internasional," kata Salman.
Tentang pertanyaan apakah koalisi militer ini hanya fokus pada ISIS, Salman mengatakan akan menghadapi tidak hanya kelompok tersebut, tetapi juga semua "organisasi teroris yang muncul di depan kami."
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...