Indonesia Dorong Budaya Toleransi, Implementasikan Resolusi 16/18
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM-Selama beberapa tahun terakhir, kasus penodaan agama semakin menjadi fenomena global. Praktik “penodaan agama” seringkali disandingkan dengan “kebebasan berpendapat” yang berimplikasi pada perpecahan antar umat manusia.
Pada bulan Maret 2011 Organisasi Kerjasama Islam (OKI) bersama negara-negara Barat berkumpul untuk mengusulkan pendekatan baru yang didasarkan pada rekonsiliasi dan berbagai upaya terkait untuk memahami kewajiban larangan hasutan.
Hal ini yang kemudian dikenal dengan United Nations Human Rights Council (UNHRC) Resolution 16/18 (Resolusi 16/18). Bersamaan dengan resolusi tersebut, disepakati implementasi antar pemerintah yang dikenal dengan Istanbul Process, serta upaya terkait untuk memahami kewajiban tersebut atau yang dikenal dengan Rencana Aksi Rabat.
Sejak peluncuran Proses Istanbul di Turki di tahun 2011, telah diadakan tujuh pertemuan tingkat pakar: di Washington (diselenggarakan oleh Amerika Serikat), London (Inggris dan Kanada), Jenewa (OKI), Doha (Qatar), Jeddah (OKI), Singapura dan Den Haag (Belanda).
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, SIti Ruhaini Dzuhayatin, mengatakan bahwa Indonesia berkomitmen kuat mengimplementasikan budaya toleransi ini, sekaligus mendorong setiap negara memandang Resolusi 16/18 sebagai sebuah kebutuhan yang dituangkan dalam forum internasional Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023.
“Indonesia ingin terlibat dalam mempromosikan praktik baik penerapan prinsip saling menghormati dan anti diskriminasi di lingkup internasional. Inisiatif mengadakan JPD 2023 untuk membuktikan bahwa Indonesia memiliki modalitas kuat memerangi intoleransi. Maka, nanti JPD 2023 akan lebih inklusif, lebih luas jangkauannya. Bukan hanya memberi kesempatan suara negara tapi juga suara masyarakat sipil,” kata Ruhaini.
Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 diselenggarakan atas kolaborasi tiga kementerian dan lembaga, yaitu Kantor Staf Presiden, Kementerian Agama, dan Kementerian Luar Negeri. Sesuai dengan Resolusi 16/18 sebagai produk multilateral, kolaborasi ketiga kementerian dan lembaga ini ingin menunjukan modalitas Indonesia untuk memajukan dan mendorong pemenuhan Hak Asasi Manusia tanpa diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan.
Dalam memenuhi implementasi Resolusi 16/18, Achsanul Habib dari Direktorat Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri menerangkan penyelenggaraan JPD 2023 merupakan bentuk kontribusi aktif Indonesia di tingkat global, khususnya dalam pemenuhan HAM yang berbasis pada hak kebebasan beragama serta hak untuk bebas dari tindakan diskriminatif.
“Resolusi turunan 16/18 di Dewan HAM juga terus menekankan pentingnya dialog dan kerja sama internasional untuk memperkuat upaya bersama memberantas stigmatisasi, stereotip negatif, dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan,” ujar Achsanul.
JPD 2023 merupakan forum internasional yang berisikan 5 sesi dialog untuk mengeksplorasi praktik terbaik dan pembelajaran dari berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia dalam memperkuat implementasi Resolusi 16/18 UNHRC. Acara ini akan dilaksanakan pada 29-31 Agustus 2023 bertempat di Hotel Borobudur, Jakarta.
Sebagai informasi, resolusi Dewan HAM 16/18 menjadi penegasan kewajiban negara-negara untuk melarang adanya diskriminasi atas dasar agama atau kepercayaan. Indonesia sebagai negara anggota, secara aktif membahas inisiatif penegasan HAM dan anti intoleransi, termasuk melalui JPD 2023 sebagai forum yang akan menunjukan toleransi sebagai kunci perdamaian dunia.
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...