Indonesia Kehilangan 64 Hektare Lahan di Perbatasan
KUPANG, SATUHARAPAN.COM - Indonesia kehilangan lahan sekitar 64 hektare di wilayah perbatasan RI-Timor Leste, setelah diklaim Timor Leste sebagai bagian dari wilayah kantung (enclave) Oecusse, yang belum lama ini diresmikan menjadi Daerah Istimewa.
"Dengan hanya mengacu pada hasil foto satelit, Timor Leste mengklaim sebagai bagian dari teritorinya, dan Indonesia tidak pernah mengklarifikasinya sebagai sebuah bentuk pencaplokan," kata anggota DPRD Nusa Tenggara Timur dari F-PDI Perjuangan Dolvianus Kolo di Kupang, Jumat (6/2).
Ia mengatakan, wilayah Indonesia yang "dicaplok" Timor Leste seluas 64 hektare itu terletak di wilayah Kecamatan Miomafo Barat dan Naibenu di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), yang berimpitan langsung dengan Oecusse.
"Kondisi ini membawa dampak buruk bagi warga di sekitarnya. Jika terjadi gesekan sedikit pun, pasti akan meledak. Ini ibarat api dalam sekam, mudah terbakar jika disulut," katanya.
Dolvianus yang juga anggota Komisi I DPRD NTT itu, mengharapkan Badan Pengelola Perbatasan Nasional segera menyelesaikan aksi pencaplokan tersebut, karena akan tetap menjadi "duri dalam daging" bagi warga Indonesia di perbatasan.
Ia menambahkan, sampai saat ini warga Desa Haumeniana dan Napan di wilayah kecamatan tersebut, masih tetap mengklaim lahan tersebut selama ini digunakan untuk menanam tanaman palawija dan usaha pertanian lainnya.
"Para petani kita di dua desa tersebut, terus berupaya untuk menggarap lahan pertanian yang telah dicaplok itu, namun masih dilarang oleh penjaga perbatasan negara Timor Leste dengan alasan pelintas batas ilegal," katanya.
Dia meminta pemerintah, agar segera melakukan dialog termasuk melakukan pertemuan bilateral dengan Pemerintah Timor Leste, untuk segera menyelesaikannya agar tidak pecah konflik antarwarga.
Memang secara kultur dan sosial, dua warga baik di Oecusse dan Timor Tengah Utara, masih memiliki satu garis keturunan dan kekerabatan. Namun demikian, batas teritorial administratif kenegaraan, akan menjadi batasan bagi keberlangsungan kekerabatan tersebut. "Bagaimana mungkin akan tercipta damai kalau ada pembatasan dan pelarangan tersebut," katanya.
Secara kelembagaan, kata Dolvianus, pemerintah daerah diminta melakukan pendekatan budaya dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut dengan adat dan budaya sebagai sesama orang Timor.
Sementara itu, Penjabat Bupati Belu Wilem Foni yang dihubungi secara terpisah mengatakan batas wilayah negara antara Indonesia dan Timor Leste di Desa Delomil, sudah diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan kedua negara.
"Yang masih bermasalah sekarang justru di Kali Malibaka, yang menjadi pembatas abadi bagi kedua negara, karena bergesernya patokan menyusul abrasi sungai. Tetapi itu tidak ada soal," katanya.
Garis batas darat antara Kabupaten Belu dan Timor Leste, mencapai sekitar 121 kilometer dari jumlah keseluruhan batas darat kedua negara sepanjang 263 kilometer.
Dari jumlah panjang garis batas tersebut, 114 kilometer di antaranya, berada di Kabupaten Timor Tengah Utara, serta 28 kilometer sisanya di wilayah Kabupaten Malaka, Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran dari Kabupaten Belu.(Ant)
Editor : Sotyati
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...