Indonesia Masuk dalam Catatan Buruk HAM Dunia
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan berbagai kelompok Minoritas dan Rentan menyayangkan performa Indonesia yang masih buruk dalam menjamin kebebasan untuk berkumpul secara damai dan hak untuk berserikat, demikian ditegaskan dalam pernyataan pers bersama KontraS, GKI Yasmin, Pengurus Jemaah Ahmadiah dan Pengurus Jemaah Syiah, Kamis (15/5).
Bertempat di sekretariat KontraS, pernyataan bersama ini dihadiri Haris, Koordinator KontraS, Deden Sudjana dari jemaat muslim Ahmadiah, Bona Sigalingging jurubicara Jemaat GKI Yasmin Bogor dan Maysha dari lembaga OASE dari jemaat Muslim Syiah.
Catatan buruk kondisi HAM Indonesia tertulis tegas dalam laporan tematik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 13 Mei 2014 yang disusun oleh Maina Kiai, Pelapor Khusus PBB tentang Hak untuk Berkumpul secara Damai dan Hak untuk Berserikat. Laporan ini dijadwalkan akan dipresentasikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Bulan Juni 2014 yang akan datang.
Laporan ini mengambil fokus pada tekanan dan tantangan yang dihadapi kelompok yang paling rentan ketika mereka melaksanakan hak mereka untuk berkumpul secara damai dan untuk berserikat. Kategori dalam laporan ini termasuk pelaporan pribadi dan kelompok yang sering diasosiasikan kepada kelompok yang dipinggirkan dalam masyarakat, baik dalam keseharian mereka maupun ketika mereka melaksanakan hak-hak mereka.
Salah satu kelompok yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dianggap sebagai kelompok minoritas termasuk kelompok minoritas berdasarkan agama atau keyakinan mereka.
Maina Kiai, telah mengumpulkan informasi dari seluruh dunia termasuk melalui pertemuan-pertemuan dengan kelompok-kelompok sipil pegiat HAM diseluruh dunia, diantaranya melalui sebuah pertemuan antara Pelapor Khusus PBB dengan kelompok-kelompok sipil pegiat HAM di Asia yang berlangsung di Singapura pada awal 2014 yang lalu. KontraS, yang diundang hadir dalam pertemuan tersebut, merekomendasikan perwakilan jemaat Gereja GKI Yasmin Bogor, salah satu korban, untuk datang mengikuti pertemuan dan melaporkan langsung situasi terkait pelarangan untuk berkumpul secara damai untuk beribadah di Indonesia, khususnya pada kelompok-kelompok agama dan keyakinan di Indonesia.
Dokumen Publik PBB
Dalam laporan tematik ini, yang terdapat dalam dokumen publik PBB bernomor A/HRC/26/29, tertanggal 14 April 2014 berjudul: Laporan Pelapor Khusus tentang Hak untuk Berkumpul secara Damai dan Hak untuk Berserikat, Maina Kiai, laporan terkait kasus-kasus di Indonesia, terangkum pada Halaman 13, poin 4, nomor 41, dibawah sub-judul: Praktik-Praktik yang mengancam atau menghalangi pemenuhan hak kebebasan untuk berkumpul secara damai, diamana dalam laporan itu, tertulis: “In Indonesia, for example, religious minority groups such as Ahmadis (the Ahmadiyah), Baha’is, Christians and Shias face physical attacks from militant Islamic groups with little intervention from the Government. Despite of the Supreme Court ruling upholding the right of the Taman Yasmin Indonesian Christian Church congregation to put up their church building, in Bogor, West Java, local authorities sealed the building in 2010 and, since then, have prevented church members from gaining access to their church".
Dalam bahasa Indonesia, laporan ini menegaskan: "Di Indonesia, sebagai contoh, kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen, Syiah menghadapi serangan fisik dari kelompok militan Islam dengan keterlibatan penanganan yang minimal dari pemerintah. Meskipun Mahkamah Agung telah mengeluarkan putusan yang mengukuhkan hak Jemaat GKI Taman Yasmin untuk mendirikan bangunan gereja mereka di Bogor, Jawa Barat, pemerintah daerah menyegel bangunan pada tahun 2010 dan, sejak saat itu, menghalangi jemaat memasuki gereja mereka”
Sebelumnya Indonesia masuk dalam laporan persidangan Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB pada bulan Mei 2012 lalu, dimana Indonesia mendapat sorotan dalam rekomendasi yang memberi catatan agar pemerintah Indonesia mengambil langkah nyata guna menjamin kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan pertanggung-jawaban atas pelanggaran HAM. Ajang UPR yang diadakan empat tahun sekali, juga memuat beberapa tinjauan catatan dan rekomendasi pelaksanaan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia dari berbagai negara yang ikut mengawasi pelaksanaan HAM di Indonesia.
Menurut Bona Sigalingging, jurubicara dari jemaat GKI Yasmin Bogor, dengan adanya laporan tematik 2014 ini, sekali lagi, Indonesia masuk dalam catatan buruk HAM dunia terkait dengan hak-hak untuk berkumpul secara damai termasuk untuk kepentingan peribadatan agama. "Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, catatan buruk terkait hak-hak warga negara, khususnya mereka yang dianggap minoritas di Indonesia, tidak juga membaik dan terus menjadi sorotan dunia, berbanding terbalik dengan klaim sepihak yang kerap disampaikan pemerintah ke berbagai pihak bahwa kondisi Indonesia dalam konteks ini - bahwa semuanya baik-baik saja,” demikian kata Bona.
Bona juga mensinyalir adanya pengabaian yang sistematis atas dasar adanya insiden yang berulang hingga sekarang sedangkan pemerintah pusat tidak melakukan tindakan apapun. Pemerintah abai, baik dalam menghadapi pembangkangan hukum yang dilakukan aparat-aparatnya di tingkat daerah karena menghadapi tekanan kelompok radikal anti-keberagaman, atau bahkan pernyataan berulang petinggi negara di tingkat pusat yang memberikan semacam pembenaran terhadap aksi-aksi main hakim sendiri yang dilakukan kelompok kecil radikal anti-keberagaman. "Ini adalah bukti nyata bahwa situasi ini di Indonesia tidaklah baik-baik saja," sekali lagi Bona berpendapat.
Editor : Bayu Probo
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...