Indonesia Melihat Konflik Timur Tengah
SATUHARAPAN.COM – Tahun 2016 diawali dengan keprihatinan dunia oleh konflik sektarian, khususnya di Timur Tengah. Tahun 2015 sendiri diwarnai oleh perang saudara di Suriah yang belum terlihat ujungnya, kegagalan gencatan senjata untuk mengakhiri perang di Yaman, serta aksi teror yang melanda Irak, Turki, Prancis dan negara Eropa lain serta Amerika Serikat.
Masalah utama bisa jadi dipersepsikan sebagai konflik politik dan ekonomi, namun tidak bisa diabaikan bahwa masalah sektarian memberi warna yang kuat dalam konflik di sana. Awal tahun ini, ketegangan dipicu oleh eksekusi mati terhadap terpidana terorisme, termasuk ulama Syiah Nimr al-Nimr, oleh Arab Saudi.
Kasus itu telah memicu konflik antara Arab Saudi dan Iran hingga putusnya hubungan diplomatik, dan yang tak pelak ditarik ke garis konflik antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah. Sebelumnya, kedua negara telah berseberangan secara nyata dalam menyikapi perang Suriah dan Yaman, dan masing-masing mendukung para pihak yang berhadapan.
Yang perlu dicatat adalah situasi di Timur Tengah harus dipahami sebagai terlalu banyak diwarnai oleh politik identitas yang memanfaatkan konflik sektarian. Polarisasi menjadi makin tajam, terutama dalam perebutan dominasi di pemerintahan, dan semua terjebak pada lingkaran kekerasan. Perbedaan etnis dan keyakinan dijadikan amunisi yang menjadikan konflik senjata seperti tak berujung.
Revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring) banyak melahirkan perang dan tragedi kemausiaan, dan gagal membangun pemerintahan yang akuntabel dan kuat yang diharapkan. Ini karena politik baru yang berkembang diwarnai oleh kebencian dan dendam atas dasar sektarian dan identitas, bukanya politik demokrasi dan pemerintahan yang iklusif. Situasi makin tak terkendali ketika ruang dialog ditinggalkan dan masing-masing bersuara dengan senapan.
BACA JUGA: |
Di Mana Posisi Indonesia?
Situasi ini perlu mendapatkan perhatian Indonesia, karena masalah sektarian telah dibawa dalam konflik bersenjata yang makin terbuka dan berpotensi menyeberangi batas negara. Alasannya, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim yang terbesar dan akan menghadapi situasi di mana para pihak akan berusaha menyeret Indonesia, pemerintah dan umat Muslim, untuk berpihak.
Tantangan ini bisa membawa Indonesia, khususnya umat Muslim, ke dalam gesekan dan konflik sektarian yang makin tajam di dalam negeri. Juga berportensi membuka pintu bagi masuknya konflik di sana ke Indonesia. Kemungkinan itu makin terbuka jika masalah di Timur Tengah terus ditarik dalam garis konflik sektarian.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia masih relatif terjaga. Sekalipun ada ratusa orang yang diberitakan menuju Suriah untuk bergabung berperang bersama Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS), dampaknya masih bisa ditekan. Setidaknya jika dibandingkan dengan Prancis dan Amerika Serikat yang telah mengalami serangan mereka secara langsung.
Faktor yang penting adalah Indonesia harus mengambil jarak yang bijak dengan konflik ini dengan tidak berbagung dalam koalisi militer dengan negara-negara yang terlibat langsung dengan konflik di Timur Tengah, baik blok yang dimotori negara-negara Barat, maupun blok yang dimotori Rusia.
Bahkan ketika Arab Saudi menyatakan membentuk koalisi militer 34 negara Islam untuk memerangi terorisme, Indonesia berada di luar lingkaran itu. Dan segera terbuka pernyataan tentang adanya kepentingan politik Arab Saudi. Pilihan bebas Indonesia untuk tidak terlibat dalam konflik bersenjata berperan untuk mencegah ‘’impor’’ konflik sektarian di sana.
Selain itu, ada modal penting bagi Indonesia, yaitu mayoritas Muslim masih bisa menahan infiltrasi radikalisme dan ekstremisme yang mencoba menyalakan konflik sektarian. Namun ini bukan kondisi yang ada begitu saja, bahkan akan menghadapi tantangan yang lebih besar dari situasi yang terjadi di Timur Tengah.
Membangun Ketahanan
Lantas, bagaimana Indonesia tidak menjadi terlalu ‘’pasif’’ oleh politik netralnya? Ada ruang di dalam negeri bagi pemerintah, politisi dan cendekiawan dari berbagai agama untuk fokus dengan mengikis politik identitas dan konflik sektarian yang tumbuh sejak reformasi. Sebab, rendahnya kinerja pemerintahan di Indonesia, sangat terasa akibat permainan politik identitas oleh politisi berkapasitas payah. Hal ini pantas jadi fokus pembangunan ketahanan negara.
Dalam arena politik luar negeri, Indonesia yang bisa bermain dengan memberi kontruibusi bagi perdamaian melalui forum-forum kerja sama regional. Diplomasi rakyat bisa dimainkan oleh para ulama dalam membangun ketahanan kehidupan beragama yang tidak dijadikan mainan oleh kepentingan politik dan kelompok.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...