2016: Keberanian Mengakhiri Kegetiran 2015
SATUHARAPAN.COM – Hari ini, Kamis (31/12) adalah hari terakhir di tahun 2015. Lembaga, komunitas dan individu tegah dalam persiapan akhir untuk perayaan menyambut tahun baru 2016. Banyak yang merayakan dengan pesta dan mengungkapkan berbagai harapan baik di tahun 2016. Kemeriahan ini bahkan akan meliputi hampir seluruh belahan bumi, planet kita.
Perayaan diselenggarakan untuk menyambut tahun baru 2016. Namun demikian pada umumnya kita melupakan untuk menutup tahu 2015. Hiruk –pikuk pesta dengan mengungkapkan berbagai harapan untuk hal baru di tahun depan adalah hal yang baik. Tetapi kita dihadapkan juga pertanyaan: apakah kita juga siap menutup hal-hal buruk di tahun 2015?
Apa yang sepantasnya kita tutup dari tahun 2015? Dalam konteks kita di Indonesia, banyak hal yang harus kita tutup (baca: akhiri) dari apa yang terjadi di tahun 2015, karena merupakan catatan pahit kehidupan bangsa dan negara.
Tahun 2015 kita menyaksikan bencana kabut asap yang jelas akibat tangan manusia. Bangsa kita dipermalukan oleh kebebalan kita karena terus melakukan hal buruk dalam pembukaan lahan dengan membakar. Bahkan kita tidak bisa mengakhiri masalah asap yang kita buat sendiri dan makin parah setiap tahunnya, dan kemudian meminta bantuan negara lain.
Sejauh ini negara hanya bisa bicara bahwa pembakaran lahan sebagai kejahatan dan melanggar hukum, namun para pelaku bahkan terlihat ‘’nyaman’’ dalam perlindungan kepentingan politik. Masalah asap harus diakhiri, namun komitmen apa yang bisa mewujudkannya pada tahun 2016?
Korupsi Makin Parah
Dalam masalah korupsi, yang kita sebut sebagai kejahatan luar biasa karena besarnya kerusakan bagi bangsa, tahun 2015 mencatat kegetiran yang luar biasa. Koruptor cenderung ‘’memenangkan’’ pertarungan politik dalam melemahkan Komisi Pemberanasan Korupsi (KPK), dan berlarut-larutnya pemilihan komisioner baru.
Masalah ini dimulai dengan konflik KPK versus Polri yang didukung oleh kalangan politisi di DPR. Hal ini terlihat ketika KPK dilemahkan dengan menjadikan pimpinan KPK (Abraham Samad dan Bambang Widjajanto) dijadikan tersangka. Target melemahkan KPK makin nyata arena kasus keduanya tidak juga diproses hingga akhir tahun ini.
Akibat yang nyata adalah tertahannya proses pengusutan sejumlah kasus korupsi. Situasi ini sama saja dengan memberi kesempatan para koruptor terus memperkuat diri dan menjalankan praktik kejahatan. Yang membuat miris adalah pelemahan KPK dijalankan melalui lembaga resmi politik dan penegakan hukum.
Catatan getir ini akankah ditutup bersama tutup tahun 2015? Atau koruptor di kalangan birokrasi, politisi dan penegak hukum tengah membuat serangan baru untuk tahun 2016, terutama terhadap pimpinan baru KPK dan kekuatan anti korupsi lain?
Sektarian dan Diskriminasi
Kita juga semestinya mengakui bahwa catatan tahun 2015 masih banyak yang berupa pengulangan dan kelanjutan dari masalah-masalah diskriminasi dan konflik sektarian tahun sebelumnya. Tidak ada perubahan yang signifikan dalam memperbaiki masalah tersebut, meskipun setiap tahun keluar pernyataan dan komitmen baru.
Warga negara dari kelompok minoritas masih terus menghadapi masalah-masalah diskriminasi, dan bahkan dikriminalisasi karena keyakinan dan upaya memperthankan identitas mereka. Bahkan sejauh ini belum ada upaya rehabilitasi bagi mereka, termasuk yang telah belasan tahun menjadi pengungsi di negeri sendiri.
Kita sepantasnya belajar dari situasi di Timur Tengah yang tengah dihancurkan oleh konflik sektarian dan politik identitas yang mengobarka kebencian dan permusuhan. Namun demikian, apakah ada niatan kita untuk mengakhiri catatan pahit konflik sektarian dan diskriminasi pada tahun 2015 dan sebelumnya, dengan komitmen dan upaya baru di tahun 2016?
Etika Politik Memprihatinkan
Tahun 2015 diwarnai perasaan malu sebagai bangsa oleh ulah politisi di DPR. Ini sebenarnya dimulai sejak Dewan dilantik dan perebutan kekuasaan terjadi dengan drama yang sangat tidak sedap ditonton. Koalisi di DPR hanya sibuk dengan kepentingan kelompok yang begitu kuat, terutama dalam merebut pimpinan Dewan, dan tanpa malu meminggirkan kepentingan rakyat.
Masalah berlanjut dengan tindakan-tindakan yang tidak etis, bahkan oleh pimpinan DPR, khususnya Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut nama Presiden untuk mendapatkan saham PT Freeport. Begitu vulgarnya kasus ini, sehingga kasusnya harus dibuka di sidang Majelis Kehormantan Dewan (MKD). Namun demikian, apa yang disebut oleh MKD sebagai penyelesaian (menutup kasus) adalah tindakan yang dipertanyakan secara etika.
Berbagai masalah di negeri ini bahkan tidak pernah lepas dari melibatkan politisi, termasuk korupsi, masalah asap, konflik sektarian dan diskriminasi, dan pembahasan anggaran yang penuh transaksi. Banyak politisi era ini berada dalam pusaran masalah serius bangsa ini, yang terlihat dari situasi di mana partai politik tidak mampu menyelesaikan konflik internalnya. Namun banyak yang masih dengan pongah berkoar menjanjikan solusi bagi masalah bangsa.
Dampak yang nyata lainnya adalah kinerja Dewan yang sangat buruk di tahun ini. Kinerja sebagai lembaga legislatif sangat rendah, dan kinerja sebagai lembaga pengawas, termasuk untuk mencegah korupsi, tapi anggota Dewan justru lebih pantas diawasi.
Beranikah politisi dan partai politik menutup ‘’aib’’ di tahun 2015 ini dan memulai hal-hal baru di tahun 2016 dengan kerja yang bertetika, bertanggung jawab, dan fokus pada kepentingan rakyat?
Pesta Keberanian
Bagi kita bangsa Indonesia, terutama bagi para elite, kita semestinya mempertanyakan diri dengan pesta menyambut tahun baru. Sebab, adakah keberanian bagi kita untuk ‘’berpesta keberanian’’ dengan menutup catatan getir tahun 2015, setidanya pada apa yang diungkap di atas? Jika tidak, perayaan ini adalah pesta hiprokrit.
Selamat tahun baru 2016, mari tutup kegetiran di tahun 2015.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...