Indonesia Patut Mencontoh Negara Maju untuk Menciptakan Kota Layak Anak
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mengatakan negara kita harus belajar dari negara lain yang sudah lebih maju. Misalnya negara Swedia dan Norwegia patut dicontoh terkait kepedulian mereka terhadap hak anak dan penghargaan hak asasi anak, sedangkan negara Finlandia sudah sangat luar biasa baiknya untuk urusan di dunia pendidikan.
Kota layak anak merupakan cita-cita di belahan dunia manapun menurut pendapat Arist, dan ini juga menjadi salah satu komitmen negara Indonesia. Persoalannya ada dalam masyarakat siap atau tidak, mau atau tidak, dan kesadaran masyarakat bahwa anak itu butuh perlindungan ada atau tidak, jadi bukan semata-mata karena pemimpinnya.
“Pemimpin bisa saja tinggal memerintahkan, tetapi bagaimana peran serta masyarakatnya? Itu yang paling utama. Saya pikir bisa kalau kita mau,” kata Arist kepada satuharapan.com saat ditemui di Kantor Komnas PA, Jakarta Timur, Jumat (28/2).
Lingkungan RT, RW, kelurahan, sampai kecamatan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap apa yang terjadi di lingkungannya, artinya itu merupakan bentuk peran serta masyarakat.
Tetapi sebelumnya, harus dibangun terlebih dahulu sebuah sistem, antara lain adanya peraturan seperti undang-undang, perda, dan lain sebagainya. Selain itu lingkungan anak, yaitu tempat bermain, sekolah dan lain sebagainya juga harus kondusif bagi anak.
“Yang harus dibangun adalah sistem di Indonesia, yaitu sistem manajemen perlindungan anak. Kalau sudah ada sistem, akan menggerakkan peran serta masyarakat untuk peduli terhadap persoalan anak di lingkungannya, maka tidak perlu lagi mengharapkan pemerintah atau legislatif,” tutur Arist.
Kartu Jakarta Pintar (KJP) adalah salah satu implementasi hak anak, sebagai bagian dari upaya membangun Jakarta menjadi kota layak anak. Sama halnya dengan adanya Kartu Jakarta Sehat (KJS), ruang terbuka hijau, perlu didukung sebagai proses Jakarta menuju kota layak anak. Dan ini harus terus dikontrol supaya masyarakat bisa terus mendapatkan haknya.
Perlindungan terhadap hak anak itu universal, tidak boleh diskriminatif, jadi apa yang terdapat di kota besar sebagai pusat pemerintahan, dengan apa yang terjadi di daerah perbatasan dan pedalaman itu juga harus ada pemerataan.
“Anak di kota besar punya hak, di wilayah perbatasan atau pedalaman juga punya hak. Rata itu dalam arti sarana dan prasarana untuk bersekolah yang sama seperti di kota besar, misalnya bangunan sekolah, komputer, dan lain sebagainya. Kalau sekarang kondisinya masih dirasakan diskriminatif, tetapi inilah yang sedang diperjuangkan oleh semua orang saat ini,” Arist menjelaskan.
Lebih lanjut ia jelaskan, lingkungan sosial anak, rumah, panti asuhan, masyarakat perlu didorong juga agar memiliki peran serta, misalnya jika menemukan anak yang terlantar kita biasanya diam, atau melihat terjadi kekerasan pada anak tetapi malah merasa kalau kita bertindak akan dianggap mencampuri urusan rumah tangga orang lain, semua itu tidak dibenarkan.
“Ketika bicara tentang sistem perlindungan anak, semua orang harus terlibat untuk memberikan perlindungan kepada anak, setidaknya melaporkan jika menemukan kasus kekerasan,” tandasnya.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...