Industri Opium Afghanistan Kembali Meningkat
KABUL, SATUHARAPAN.COM-Industri opium Afghanistan mempercepat bisnis mereka karena kekeringan dan sanksi yang melumpuhkan ekonomi negara itu di bawah pemerintahan Taliban, menurut laporan Wall Street Journal, hari Minggu (22/11).
Petani yang dulu menanam gandum atau jagung kembali menanam bunga poppy di tanah mereka sekarang, karena "kombinasi masalah kekeringan, sanksi internasional, dan penutupan perbatasan telah membuat tanaman legal tidak menguntungkan," kata lapor WSJ.
Afghanistan secara global dikenal dengan industri opium bernilai miliaran dolar, yang menyumbang 85 persen dari produksi opium di seluruh dunia, menurut dara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Ketika Taliban menguasai negara itu pada Agustus, kelompok itu bersumpah untuk membasmi industri opium. Tapi tiga bulan kemudian, industri ini justru berkembang.
Juru bicara kementerian dalam negeri, Qari Saeed Khosty, mengatakan pada hari Kamis bahwa Taliban bertujuan untuk mencegah “pertumbuhan dan perdagangan narkotika”. Namun, WSJ melaporkan bahwa seorang pejabat intelijen Taliban hanya menuntut agar wartawan asing dilarang meliput pasar opium.
Seorang gubernur Taliban di salah satu provinsi mengatakan kepada WSJ bahwa pemerintah tidak mampu mencabut mata pencaharian orang-orang ketika negara itu menghadapi sanksi keras Amerika Serikat dan kekeringan yang mengerikan.
“Bagaimana kita bisa menyuruh mereka berhenti? Siapa yang akan merawat mereka?” kata Gubernur Mullah Seif Alrahman Akhund. “Jika masyarakat internasional mengakui pemerintah kami, dan kami menerima bantuan dan bantuan pembangunan, maka bunga poppy pasti akan hilang. Kami dapat mengambil tindakan terhadapnya, tetapi kami tidak ingin orang-orang kami menderita kemiskinan yang lebih dalam.”
Seorang petani yang menabur benih opiumnya mengatakan kepada WSJ: “Ketika pemerintah lebih miskin dari penduduk, keduanya tidak akan punya waktu atau energi untuk mengganggu satu sama lain. Siapapun akan melakukan apapun yang ingin mereka lakukan.”
Taliban sedang berjuang untuk memerintah Afghanistan yang terperosok dengan krisis ekonomi, dengan harga makanan dan bahan bakar meningkat tajam di tengah kekurangan uang tunai, dipicu oleh penghentian bantuan asing dan kekeringan.
Kelompok itu menuntut AS mencairkan asetnya untuk mengurangi tekanan ekonomi di negara itu.
Setelah Taliban menguasai Afghanistan pada 15 Agustus, AS membekukan hampir US$ 10 miliar emas Afghanistan, investasi, dan cadangan mata uang asing.
Washington berencana menggunakan dana yang dibekukan itu sebagai sarana untuk menekan Taliban agar menghormati hak-hak perempuan dan mengatur publik dengan cara yang sah.
Editor : Sabar Subekti
OpenAI Luncurkan Model Terbaru o3
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM- Dalam rangkaian pengumuman 12 hari OpenAI, perusahaan teknologi kecerdasan...