Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 18:49 WIB | Sabtu, 18 Januari 2014

INFID Gelar Diskusi Perbaikan Pajak untuk Si Kaya dan Super Kaya

INFID Gelar Diskusi Perbaikan Pajak untuk Si Kaya dan Super Kaya
Diskusi mengenai perbaikan pajak di Indonesia digelar oleh International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) di Jalan Jatipadang Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (18/1) (Foto-foto : Dedy Istanto).
INFID Gelar Diskusi Perbaikan Pajak untuk Si Kaya dan Super Kaya
Direktur Infid Sugeng Bahagijo (kiri) saat menjadi fasilitator dalam diskusi mengenai perbaikan pajak di Indonesia.
INFID Gelar Diskusi Perbaikan Pajak untuk Si Kaya dan Super Kaya
Pengamat pajak Prastowo (kanan) saat menjelaskan sistem perpajakan di Indonesia terkait dengan perlu adanya perbaikan pada kebijakan pajak.
INFID Gelar Diskusi Perbaikan Pajak untuk Si Kaya dan Super Kaya
Yeni Sucipto (kiri) dari Forum Indonesi untuk Transparansi Anggaran saat memaparkan persoalannya terkait dengan pajak.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menggelar diskusi terkait perbaikan kebijakan pajak untuk golongan kaya dan super kaya yang ditujukan pada para calon legislatif (Caleg) dan calon presiden (Capres) jelang pemilihan umum (pemilu) mendatang di kantornya Jalan Jatipadang Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (18/1).

INFID melihat sejak pemilu tahun 2004 dan 2009 isu pajak belum pernah menjadi topik perdebatan. Padahal isu kebijakan pajak sudah harusnya menjadi agenda kerja dan perdebatan bagi para caleg dan capres ke depan dalam membangun Indonesia yang lebih inklusif. Saat ini perolehan pajak Indonesia masih berada di bawah rata-rata di negara sebayanya.

Padahal Indonesia memiliki potensi dan wajib untuk menaikkan perolehan pajak dari level sekitar 13 - 15 persen, menjadi sekitar 19 -24 persen dalam kurun waktu lima tahun. Potensi perolehan pajak tersebut bisa berasal dari 1.000 miliarder Indonesia yang meraup pendapatan antara lima sampai 20 miliar rupiah per tahunnya.

Contohnya Prancis belum lama ini telah mengeluarkan kebijakan yang disetujui oleh Mahkamah Konstitusinya dengan memberlakukan pajak super kepada kelompok superkaya dengan tarif 75 persen. Tarif ini jauh di atas rata-rata dari tarif pajak yang tertinggi di dalam zona Eropa sebesar 43 persen.

Relevansinya bagi Indonesia kebijakan pajak seperti itu layaknya perlu dipertimbangkan untuk diperdebatkan dan menjadi agenda bagi para caleg dan capres pada pemilu nanti, karena nasib Indonesia ditentukan oleh kebijakan pajak. Indonesia harusnya sudah bisa mencapai level 19 – 24 persen Product Domestic Bruto (PDB).

Salah satu alasannya karena tarif pajak tertinggi di Indonesia hanya sebesar 30 persen, bagi pendapatan di atas Rp 500 juta per tahun. Artinya kebijakan pajak Indonesia tidak membedakan si kaya dan si superkaya, antara mereka yang berpenghasilan Rp 500 juta dengan mereka yang meraup pendapatan di atas Rp 3 miliar atau Rp 10 miliar per tahunnya.

Selama 10 tahun terakhir, Indonesia telah menghasilkan dan mencetak lebih dari 100 hingga 200 orang superkaya sebagaimana didata majalah Forbes. Mereka ini disebut superkaya atau High Neworth Individual karena pendapatan mereka melampaui Rp 10 miliar per tahunnya. Hal tersebut terlihat dari mereka yang menjadi pemenang disektor panen komoditas batubara, sawit, dan properti serta perdagangan.

Merubah kebijakan tarif pajak bagi yang kaya dan superkaya karena harus dibedakan. Sudah waktunya kelompok superkaya dipatok lebih tinggi, setidaknya mencapai 40 – 45 persen sebagaimana diberlakukan di zona Eropa. Dengan begitu tarif 30 persen masih bisa berlaku untuk maksimum Rp 1 miliar per tahun, sementara tarif 40 – 45 persen untuk mereka yang meraup di atas Rp 5 miliar per tahun alias superkaya.

 

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home