Ingin Ubah Kultur, Nasdem Pastikan Tak Ada Politik Transaksional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Wakil Sekretaris Jenderal Partai NasDem Willy Aditya memastikan tidak ada politik transaksional atau bagi-bagi kekuasaan antara koalisi Partai NasDem dengan PDI Perjuangan.
"NasDem ingin mengubah kultur tersebut. Kita ingin menciptakan kultur berpolitik yang baru bahwa koalisi itu bukan mementingkan kepentingan transaksional atau bagi-bagi kekuasaan di pemerintah," kata Willy menanggapi cepatnya proses koalisi antara kedua partai tersebut untuk mengusung Joko Widodo sebagai Capres di Pilpres
mendatang, di Jakarta, Kamis (17/4).
Hal itu, kata dia, yang membuat PDIP dan Jokowi sangat nyaman karena NasDem tidak mengajukan portofolio kekuasaan. "Pak Surya berpandangan kita harus memperkuat presidensial dengan parlemen yang solid," tuturnya.
Menurut dia, tak seperti partai lain yang menimbang koalisi dengan kemungkinan adanya berbagi kekuasaan, partainya hanya menawarkan digunakannya politik dan gagasan dari partai nomor urut 1 pada Pileg lalu tersebut.
"Kita bukan `power sharing` tapi `idea sharing`. Sebelum Pileg kita sudah beberapa kali silaturahmi, baik kunjungan ke PDIP atau ke NasDem maupun pertemuan di lapangan saat kampanye," tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Willy juga meyakinkan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh terus menekankan bahwa mereka yang masuk dalam pemerintahan tak lagi mementingkan partai politiknya namun benar-benar mengabdikan diri untuk negara.
"Yang di endorse Pak Surya adalah mereka yang masuk pemerintahan, pejabat negara meski berasal dari partai namun tak mengabdikan dirinya untuk partai lagi. Tapi telah mewakafkan dirinya kepada negara. Itu salah satu ide gagasan kita. Inilah yang membuat kita lebih lentur terhadap koalisi karena tidak memikirkan berbagi kekuasaan," papar Willy.
Mengenai cawapres pendamping Jokowi, Willy meyakinkan Surya Paloh dan Megawati akan duduk bersama untuk membahas hal tersebut.
Willy menambahkan, dalam kesepakatan koalisi dengan PDIP, partainya sama sekali tidak menawarkan atau mengambil posisi cawapres maupun jabatan di kabinet karena kerja sama itu dibentuk atas dasar kesamaan pandangan bahwa dalam berkoalisi yang terpenting adalah bekerja.
"NasDem ingin mengubahnya dengan kultur politik yang sangat negarawan. Bisa memisahkan jabatan publik dan partai, tidak boleh merangkap jabatan di pemerintahan," jelasnya.
Sebelumnya Ketua Dewan Pers Indonesia Bagir Manan mengatakan koalisi yang dibangun Joko Widodo (Jokowi) tentu ada unsur transaksional karena melihat sistem yang ada serta perilaku partai.
"Koalisi tanpa adanya tawar-menawar (bargaining) itu tidak mungkin, karena kalau kita ingin mengajak partainya berarti kita tentu ada bargaining partai itu. Oke saya dukung asal dapat menteri-menteri itu atau dukung program-program ini," ujar Bagir Manan di Jakarta, Rabu (16/4).
Menurut dia, di dalam koalisi yang menjadi soal "dagang sapinya" bukan gotong royongnya yang kerapkali disebut Jokowi.
"Itu kan tentu ada bargaining, yang jadi soal dagang sapinya bukan kerja samanya. Kalau mau gotong-royong, dia harus membuat program dia, ini program kamu siapa yang mendukung program ini yang disepakati dulu, kalau anda punya program ini anda boleh ikut saya yang tentukan, tapi dalam sistem itu tidak mungkin," ujar dia.
Beda dengan sistem Amerika Serikat. Presiden yang menentukan sendiri menteri-menterinya berdasarkan kemampuannya dan bukan mewakili partai, tapi mewakili kapasitas dirinya.
"Realitas politik di Indonesia seperti itu jadi pakai bahasa apa pun sama saja. Jadi jangan debat semantik lah, jangan mengatakan dia (Jokowi) bahwa gotong royong tapi tidak ngomongi jatah kursi," kata dia. (Ant))
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...