Ini Cara Tubuh Kita Menanggapi Duka
SATUHARAPAN.COM – Empat pakar psikologi terkemuka memberi gambaran pada kita yang terjadi pada tubuh kita secara fisik dan mental saat menanggapi duka.
Mary-Frances O’Connor, Guru Besar Psikologi di Universitas Arizona; George Bonanno, Guru Besar Psikologi Klinis dan Direktur Laboratorium Kehilangan, Duka, dan Emosi di Teachers College, Universitas Columbia; Nicole LeBlanc, kandidat Doktor Psikologi di Harvard yang mengkhususkan dalam studi duka; dan Anna Phillips, PhD, Psikolog Kesehatan di Universitas Birmingham, UK membagikan bagaimana lima bagian tubuh kita menanggapi duka.
Jantung
Terjadi peningkatan risiko serangan jantung. Sebab, terjadi peningkatan tekanan darah trifecta, denyut jantung, dan kemungkinan pembekuan. Dari satu studi kecil di jurnal Circulation disimpulkan bahwa risikonya adalah 21 kali lebih tinggi dari normal dalam 24 jam setelah kematian orang yang dicintai. Dan, tetap lebih tinggi dari normal sampai seminggu. Stroke dan pembekuan darah menuju paru-paru juga menjadi perhatian menurut sebuah studi di JAMA Internal Medicine.
“Sindrom patah hati” memang nyata, tapi jarang, dan untungnya jarang berakibat fatal. Disebut Takotsubo cardiomyopathy, itu terjadi ketika ventrikel kiri jantung Anda (yang memompa darah) tiba-tiba melemah. Kasus ini lebih sering terjadi pada wanita, meskipun anehnya menurut penelitian terbaru sindrom patah hati bisa menyerang setelah suatu peristiwa menggembirakan.
Kelenjar Adrenal
Malam tidak bisa tidur dan masalah perut selama enam bulan atau lebih karena kelenjar adrenal Anda memompa keluar kortisol lebih dari biasanya. Hormon stres diketahui merusak pola tidur dan pencernaan.
Sistem Kekebalan
Vaksin flu Anda mungkin kurang efektif. Tubuh Anda menghasilkan antibodi ketika Anda divaksinasi, tetapi pada orang tua yang kehilangan seseorang dalam satu tahun terakhir, respons terhadap penyakit kurang kuat, menurut sebuah studi di Brain, Behavior and Immunity. Vaksin flu kurang efektif secara umum pada orang berusia 65 dan lebih tua, tapi studi ini menemukan efektivitas vaksin bahkan kurang setelah periode berduka.
Otak
Diperkirakan tujuh sampai sepuluh persen orang yang kehilangan seseorang, kesedihan tidak berkurang dari waktu ke waktu. Jika kesedihan ini terus memengaruhi mereka sehari-hari sampai setidaknya 12 bulan, mereka mungkin menderita kesedihan rumit, juga disebut gangguan berkabung persisten kompleks. Kondisi ini terkait dengan nilai yang lebih buruk pada tes asosiasi-kata dan tes kognitif lain dan volume otak lebih kecil, menurut sebuah studi dalam Psychological Medicine. Ini masuk akal, karena stres kronis (termasuk jenis emosional) juga berhubungan dengan warna abu-abu yang kurang dalam scan di beberapa daerah otak yang kritis.
Anda tidak perlu kami beri tahu bahwa satu-satunya hal fokus Anda adalah orang yang pergi. Kurangnya konsentrasi menjadi alasan Anda juga memiliki beberapa penyimpangan memori. Dibandingkan dengan orang yang tidak berduka, mereka yang kehilangan pasangan mereka dalam jangka enam bulan memiliki lebih banyak kesulitan mengingat detail dari cerita yang diberitahukan pada mereka. Kesulitan itu terjadi bisa segera setelah mendengar atau ada kesenjangan antara mendengar dan ditanyai tentang topik yang diberitahukan pada mereka.
Tubuh Secara Keseluruhan
Stres normal tampaknya makin lama. Dan, dalam kasus kesedihan yang rumit, yang mungkin karena respons stres tubuh yang lambat, stres mendominasi keseharian, menurut sebuah studi dalam Journal of Affective Disorders. Biasanya, sistem saraf parasimpatik Anda mengambil alih ketika menanggapi stres, dan itu hal yang baik—bereaksi dan mengembalikan tubuh Anda ke kondisi normal lebih cepat dibandingkan sistem saraf simpatik. Namun, pada orang dengan kesedihan yang rumit, sistem simpatik tampaknya yang bertanggung jawab.
Tingkat peradangan meningkat. Ini membantu menjelaskan mengapa kematian (akibat penyebab apa pun) lebih mungkin untuk orang-orang yang berduka. Peradangan kronis diduga berperan dalam kanker, penyakit jantung, dan diabetes. (Huffington Post)
Editor : Eben E. Siadari
Mencegah Kebotakan di Usia 30an
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Rambut rontok, terutama di usia muda, bisa menjadi hal yang membuat frust...