Ini Catatan Akhir Tahun 2014 Hukum dan HAM PDIP
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mengatakan Penyusunan catatan akhir tahun Hukum dan HAM sudah menjadi tradisi PDI Perjuangan, Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan.
“Ini catatan buku yang keempat yang kami terbitkan sejak tahun 2011 lalu. Dan, tahun ini memiliki arti khusus karena kami memiliki kerja besar yaitu mengawal proses dan hasil Pemilu Legislatif 2014 dan Pemilu Presiden 2014,” kata Trimedya Panjaitan dalam diskusi catatan Akhir Tahun Hukum dan HAM 2014 PDI Perjuangan, di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (30/12).
Menurut Trimedya Pada catatan hukum kali ini PDI Perjuangan memaparkan tentang kegiatan Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan DPP PDI Perjuangan dalam upaya menjaga dan memperjuangkan aspirasi rakyat yang dipercayakan kepada partai PDI Perjuangan, dalam pemilu legislatif dan kepada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang PDI Perjuangan mengusung, Joko Widodo-Jusuf Kalla, dalam pemilu presiden.
“Perjuangan ini kami lakukan di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam bentuk pengajuan gugatan tentang hasil rekapitulasi pemilu legislatif, mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam menghadapi gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden 2014 di MK, dan menjadi pemohon dalam judicial review terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) yang telah ‘menegasikan’ PDI Perjuangan sebagai partai politik pemenang Pemilu Legislatif 2014,” kata dia.
Dikatakan Trimedya ada tujuh poin penting dalam catatan akhir tahun Hukum dan HAM 2014.
Pertama kata Trimedya hasil pemilu legislatif maupun pemilu presiden berujung ke MK. Terkait pemilu legislatif, PDI Perjuangan menghadapi dua masalah pokok terkait dengan sengketa hasil pemilihan, yaitu sengketa antarsesama calon legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan; dan sengketa antara caleg PDI Perjuangan dengan caleg partai lain. Penyelesaian permasalahan antarkader PDI Perjuangan diselesaikan secara internal, sedang yang terkait dengan caleg lain diajukan ke MK. Dalam PHPU Presiden 2014.
“kami mengajukan diri menjadi pihak terkait untuk bisa membela kepentingan presiden-wakil presiden terpilih Jokowi-JK. Kami mengonsolodasikan Tim Hukum Joko Widodo-JK, dan terlibat dalam proses persidangan di MK,” kata dia.
Untuk itu, yang kedua PDI Perjuangan mengajukan 17 daerah pemilihan (dapil) dalam Perselisihan Hasil Pileg, namun kemudian di satu dapil PDI Perjuangan mencabut permohonannya. Dari 16 dapil yang PDI Perjuangan ajukan ke MK, satu dapil dikabulkan, yaitu di Dapil Sulawesi Tenggara I untuk pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain itu, PDI Perjuangan juga menjadi pihak terkait dalam perselisihan Hasil Pileg yang diajukan oleh partai politik lain di MK di 17 dapil. Dalam putusannya MK menolak 16 dapil di mana PDI Perjuangan sebagai pihak terkait dan mengabulkan di satu dapil.
Ketiga kata Trimedya untuk permasalahan antarcaleg PDI Perjuangan, penyelesaian perselisihan internal ini dapat diselesaikan dalam suatu mekanisme internal yang disebut Mahkamah Partai. Sejak dibuka tanggal 4 April 2014 dan di tutup tanggal 12 Mei 2014 atau sebelum pelaksanaan sidang sengketa pemilu legislatif 2014 di MK, Mahkamah Partai menerima laporan 121 perkara dari 23 Provinsi. Dan sampai dengan tanggal 29 Oktober 2014, telah selesai menyidangkan seluruh kasus (121) kasus dan 114 kasus telah selesai dibahas putusannya dalam rapat permusyawaratan mahkamah partai.
“Salah satu bentuk putusannya adalah merekomendasikan untuk dilakukannya Pergantian Antar Waktu (PAW) dan terhadap rekomendasi tersebut DPP PDI Perjuangan telah memutuskan untuk dilakukannya PAW terhadap dua orang anggota DPR RI, satu orang anggota DPRD Provinsi, dan tujuh orang anggota DPRD Kabupaten,” kata dia.
Masih ada kebijakan di bidang hukum selama tahun 2014, ke empat kata Trimedya yang menjadi alat kekuasaan. Salah satunya adalah pengesahan RUU MD3 yang dipaksakan di penghujung periode keanggotaan DPR 2009-2014.
"Kami mengajukan permohonan pengujian formil dan materil terhadap UU MD3 ke MK. Pengujian formil kami ajukan karena pembuatan UU MD3 melanggar prosedur pembuatan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR RI," kata dia.
Menurut Trimedya sedang pengujian materiil berdasarkan alasan karena UU MD3 telah menegasikan hak PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pemilu untuk menjadi Ketua DPR, serta merampas hak PDI Perjuangan untuk memimpin alat kelengkapan dewan secara proporsional sesuai perolehan suara dalam pemilu legislatif. Tapi, sayangnya, perjuangan hukum ini kandas di meja hijau. Secara mengejutkan MK menolak permohonan pengujian UU MD3 tanpa memberikan kesempatan kepada kami untuk mengajukan saksi ahli yang sudah disiapkan.
"Putusan MK terkait pengujian UU MD3 ini akan sangat mempengaruhi jalannya kehidupan kenegaraaan ke depan. Dalam perkembangannya kita ketahui, penolakan MK untuk mereview UU MD3 tersebut telah menyebabkan terjadinya perpecahan di DPR, sehingga DPR tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara baik. Perpecahan itu baru berakhir setelah Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih sepakat berdamai. Revisi UU MD3 lah yang menjadi pintu keluar atas kekisruhan di parlemen, dan telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 5 Desember 2014. Kekisruhan politik di DPR itu sebenarnya tidak akan terjadi seandainya MK, sebagai pengawal demokrasi, dapat memutus pengujian UU MD3 dengan tepat dan adil," kata dia.
Kelima kata Trimedya terkait pengisian jabatan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggantikan Wakil Ketua KPK Busro Muqoddas yang berakhir jabatannya pada 16 Desember 2014, PDI Perjuangan setuju dan mendukung pendapat KPK agar pemilihannya dilakukan bersamaan dengan empat pimpinan lainnya pada akhir tahun 2015.
"Komisi III DPR memang telah melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap dua calon pimpinan KPK yang diajukan Kementerian Hukum dan HAM di era pemerintahan SBY, yaitu Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata, pada 3 dan 4 Desember lalu, tapi belum dilakukan pemilihan. Kami mengusulkan agar Komisi III tidak memilih Busyro Muqoddas atau Roby Arya Brata sekarang, tapi mengikutkan keduanya dalam pengambilan keputusan dalam pemilihan lima pimpinan KPK pada Desember 2015 atau dalam pemilihan pimpinan KPK secara serentak," kata dia.
Lebih lanjut Trimedya mengatakan tentang jumlah pimpinan KPK hanya empat, jika kita cermati UU KPK maka sebenarnya tidak ada aturan yang dilanggar apabila jumlah pimpinan kurang dari lima. Dan, secara de facto dan de jure sebenarnya pimpinan KPK juga sudah tinggal empat orang sejak 16 Desember lalu.
Selain itu, yang paling penting, empat pimpinan KPK yang ada saat ini telah memastikan bahwa KPK tetap dapat bekerja seperti biasa karena sifatnya kolektif kolegial. Sedangkan mengenai ketentuan bahwa ‘dalam waktu 3 bulan dari usulan presiden, DPR harus memilih pengganti pimpinan KPK, jika dicermati itu sebenarnya dalam konteks pengisian lima pimpinan KPK. Dalam pasal 30 ayat (10) UU Nomor 30 Tahun 2002 diatur bahwa DPR wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden RI.
"Memang, perlu kajian hukum lebih mendalam tentang penafsiran ‘batasan maksimal tiga bulan bagi DPR dalam pemilihan dan penetapan calon pimpinan KPK sejak diterimanya calon dari Presiden. Tapi, setidaknya, ada ‘celah hukum’ yang bisa dipertimbangkan DPR untuk membuat suatu terobosan, yaitu menunda pemilihan pimpinan KPK pengganti Busyro sampai Desember 2015 bersamaan dengan empat pimpinan KPK lainnya," kata dia.
Dengan demikian, kata Trimedya untuk seterusnya pemilihan pimpinan KPK dilakukan serentak. PDI Perjuangan akan melakukan pendekatan kepada fraksi-fraksi lainnya di DPR agar pemilihan pimpinan KPK secara serentak ini dapat dilakukan.
Dan ke enam kata Trimedya sampai saat ini masih banyak kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum terselesaikan dan menjadi pekerjaaan rumah pemerintahan Jokowi-JK. Kasus-kasus pelanggaran HAM warisan pemerintahan sebelumnya yang harus diselesaikan Jokowi-JK, antara lain, kasus Papua 1966-1998, Peristiwa Tanjung Priok 1984, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus 27 Juli 1996, penembakan di Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan sosial akhir Orde Baru, Peristiwa Priok, dan Penculikan oleh Tim Mawar. Lalu, ada juga kasus tewasnya aktivis HAM, Munir Said Thalib. Penyelesaian kasus HAM di masa lalu ini menjadi salah satu tantangan berat pemerintahan Jokowi-JK. Tantangan ini harus dijawab, sekaligus untuk mewujudkan visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK dalam penegakan hukum dan HAM.
"PDI Perjuangan akan mendorong Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kejaksaan harus membuka kembali kasus-kasus lama itu, memeriksa kembali secara cermat perkembangan kasusnya, melakukan gelar perkara, lalu mengumumkan proses penyelidikan kasus ini ke publik bagaimana penyelesaian selanjutnya. Kejaksaan harus segera melimpahkan berkas perkara yang penyidikannya telah selesai ke Pengadilan HAM atau Pengadilan HAM Ad Hoc," kata dia.
Ke tujuh kata Trimedya Penegakan hukum sepanjang 2014 mulai memberikan harapan publik. Sejumlah langkah yang dilakukan Jokowi-JK di awal pemerintahannya telah menumbuhkan harapan publik akan penegakan hukum yang lebih baik. Ini, antara lain, karena sikap tegas terhadap birokrasi yang korup, penenggelaman kapal-kapal pencuri ikan berbendera asing, dan penolakan grasi padaterpidana mati narkoba. Pemerintahan Jokowi-JK harus memanfaatkan momentum tingginya harapan dan kepercayaan publik ini untuk melakukan pemberantasan korupsi secara tegas dan konsisten, sekaligus untuk memenuhi komitmennya dalam pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu dari sembilan agenda prioritasnya atau Nawa Cita.
"Dalam butir keempat dari sembilan agenda prioritas atau Nawa Cita, dinyatakan “Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; pemberantasan mafia peradilan dan penindakan tegas terhadap korupsi di lingkungan peradilan; pemberantasan tindakan kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang; penegakan hukum lingkungan; pemberantasan narkoba dan psikotropika; menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah; penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak atas tanah masyarakat; perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarjinal; serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu," kata dia.
Publik, lanjut Trimedya rakyat Indonesia, akan menunggu pelaksanaan butir sembilan Nawa Cita tersebut. PDI Perjuangan, akan mengawal agar Nawa Cita itu benar-benar dapat diwujudkan oleh pemerintahan Jokowi-JK.
"Perlu kami sampaikan buku catatan akhir tahun ini merupakan ikhtiar kami untuk melakukan kajian evaluatif terhadap permasalahan hukum dan HAM dalam kurun satu tahun terakhir, dan menyampaikan proyeksi penegakan hukum ke depan. Melalui catatan buku ini pula kami hendak mengajak sidang pembaca untuk melakukan evaluasi bersama atas permasalahan hukum selama satu tahun terakhir, dan melakukan upaya bersama untuk penegakan hukum yang lebih baik," katanya.
Editor : Bayu Probo
Presiden Prabowo Gelar Pertemuan Bilateral dengan Presiden M...
RIO DE JANEIRO, SATUHARAPAN.COM-Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengadakan pertemuan ...